Senin, 15 September 2014

» Setetes Embun di Hati Syahdu Part. II - Cerpen Persahabatan Remaja
Setetes Embun di Hati Syahdu Part. II - Cerpen Persahabatan Remaja SETETES EMBUN DI HATI SYAHDU PART. II Cerpen Karya Ulzahrah Syiefaa Khozin Kutuliskan kisah sedihku pada buku Diaryku. Aku menangis bersama curahan hatiku atas apa yang sedang kurasakan saat ini. “Du, boleh Mba masuk?” tanya Mba Maula dari balik pintu. Buru-buru kusimpan buku Diaryku. Kuseka air mataku bersih-bersih. Aku tak ingin Mba Maula mendapatiku menangis lagi. “Masuk saja Mba, nggak Syahdu kunci kok.” Mba Maula pun masuk, “Tadi seharian kemana aja?” “Gimana tadi seminarnya Mba?” tanyaku alih-alih menjawab pertanyaannya. “Uh,,keren banget. Sayangnya Syahdu nggak dateng sih.” “Eh iya, tadi tuh temenmu ada yang jadi pembahas juga lo, Adik kelasnya Aal dulu sewaktu SMA. Siapa namanya ya?” kata Mba Maula sambil berusaha mengingat-ingat. “Tita.” jawabku pendek. “Iya Tita. Ternyata dia jago banget bahasa Arabnya ya?” Aku diam saja. Melihat responku yang terkesan datar-datar saja, Mba Maula kelihatan semakin penasaran. “Du, Mba perhatikan kok akhir-akhir ini kamu dengan Tita tak seakrab dulu, ada apa?” Aku enggan menjawab. Aku pura-pura asyik membaca buku. Membolak-balik halaman demi halaman agar tampak serius. “Apa ini ada kaitannya dengan Aal?” ia menatapku penuh tanya. Aku tersentak. Namun tak berani menjawab. “Du, Mba paham dengan apa yang kamu rasakan. Tapi, jikalau Mba boleh berpendapat, apakah kamu mau mendengarkan?” ucapnya serius. Aku mengangguk pelan. “Maksudku....persahabatan kalian terlalu berharga jika harus hancur hanya gara-gara urusan perasaan yang belum tahu bagaimana ujungnya. Mba ngerti, pasti ada rasa kecewa dihatimu melihat kedekatan Aal dengan Tita. Tapi bukankah jodoh itu ditangan Alloh?” “Tapi, Mba......” aku tergugu. “Sudah saatnya kamu berpikir lebih dewasa, Du. Tanyakan pada hati kecilmu, sudah bijak kah tindakanmu itu?” ucap Mba Maula sembari menepuk-nepuk pundakku. “Lagian Mba merasa kalau Aal sebenarnya sudah menyukai gadis lain.” Ucapnya lirih, lirih sekali bahkan hampir tak terdengar. Mungkin dia tak ingin ucapannya itu membuatku semakin terluka. “Siapa Mba?” rengekku padanya. “Aku tak tahu pasti. Yang jelas Iqbal tadi mengatakan bahwa Aal menyisakan satu kursi untuk seorang sahabatnya. Namun, iqbal sendiri tak tahu persis siapa sahabat yang sangat diharapkan Aal untuk hadir di acara seminarnya. Karena ternyata dia tak bisa datang.” Aku tercekat mendengarnya, terlintas olehku perkataan Mas Aal beberapa waktu yang lalu bahwa ia berjanji akan menyediakan satu kursi untukku. Benarkah ia sangat mengharapkan kehadiranku? *** Kawasan Kampus UIN, Jakarta. Siang itu aku ada agenda rapat Laporan Penanggung Jawaban kegiatan Pekan Anak Yatim dan Dhuafa. Sehabis sholat dzuhur, ketika mentari sepenggalan naik, aku bergegas menuju ruang rapat. Sesampainya disana aku langsung memilih tempat duduk yang masih kosong. Alhamdulillah kulihat ada kursi kosong disamping Ratih. Aku langsung memilih untuk duduk disitu. Kali ini aku dan Tita duduk terpisah. Bukannya apa, KEBETULAN aku datang agak telat dan kursi di kanan-kiri Tita sudah bertuan. Aku sengaja menyebutnya ini sebuah KEBETULAN karena memang sejujurnya aku juga sedang tak ingin duduk disampingnya. Tidak seperti biasanya, kulihat Tita tampak murung dan lebih banyak diam selama rapat. Padahal biasanya dia paling aktif dan banyak mengeluarkan ide-ide cemerlang yang biasanya langsung di Amini dan didukung sepenuhnya oleh Mas Fikra, sang ketua organisasi. Seusai rapat, tatkala aku sedang berkemas, Mas Fikra mendekatiku. Dia mengatakan bahwa Tita terlihat sangat sedih, dia memintaku untuk membantu mencari tahu masalahnya. Ketika aku keluar, kulihat Tita tengah duduk sendiri dengan muka tertunduk. Aku mencoba untuk duduk disampingnya. “Ta, kenapa sedih?” sapaku memecah kesunyian. “Aku kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupku Mba.” Ucapnya sambil terisak. Aku memandangnya penuh tanya, “Apa?” “Seuntai Tasbih mungil bewarna putih.” “Apakah itu merupakan pemberian dari orang yang sangat istimewa bagimu?” “Itu dari Mas Aal, tiga tahun yang lalu. Saat dia mengatakan bahwa dia jatuh cinta padaku. Aku takut itu merupakan pertanda bahwa aku akan kehilangannya.” Akunya pelan. Aku tercekat mendengar perkataannya. Hatiku teriris, ternyata Tita lah sosok gadis yang pernah diceritakan Mas Aal padaku. Dengan hati hancur kuberikan senyumku yang termanis untuk Tita. “Aku akan membantu mencarinya untukmu.” “Sungguh?” Tita seperti tak percaya. “Ya.” Tita memelukku haru. Dia menangis di bahuku. Akupun menangis. Aku menangis karena merasa bahwa selama ini aku telah bersu’udzon padanya. Aku menganggap bahwa selama ini Tita mencoba merebut Mas Aal dariku. Padahal kenyataannya Tita lah yang lebih dulu mendapatkan hatinya. Dan sejak saat itu aku berusaha untuk melupakan Mas Aal, demi Tita, sahabatku. *** Malam kian larut, percikan gerimis yang turun dari tadi sore belum juga reda. Sementara itu, suara katak tergengar saling bersahutan membentuk irama melodi yang khas. Aku Masih terpaku diatas sajadahku, mencoba mencurahkan isi hatiku kepada Dzat yang memiliki kerajaan hati. Dan aku menemukan kedamaian disana. Sekarang aku sudah benar-benar mengikhlaskannya, kutitipkan dia kepada-Mu karena Aku yakin Engkau Maha Tahu apa yang terbaik buat hambamu ini. Jika kelak dia memanglah untukku, Engkau pasti akan mempertemukan kita di saat yang tepat. Namun, jika dia bukanlah untukku, akupun akan berusaha untuk berbesar hati menerima takdirku. Aku yakin, jika aku selalu mempercantik akhlakku, kelak Engkau pun akan mempertemukanku dengan seseorang yang sealim, sebaik, sekharismatik dan seindah senyumnya. Amiinn.... *** Di hari Mas Aal wisuda, April 2010. Ketika keluar dari gedung wisuda, Mas Aal langsung disambut oleh keluarga dan banyak sahabat-sahabatnya yang menungguinya. Kulihat Tita juga ada disitu, dengan seikat bunga mawar putih di genggamannya. Kuurungkan niatku untuk menemuinya. Kuputuskan untuk memberinya ucapan selamat via sms. Dia membalas sms-ku dan mengucapkan terimakasih kepadaku. Satu bulan kemudian Mas Iqbal dan Mas Aal berangkat ke Mesir untuk melanjutkan studi nya. Mba Maula ikut mengantarkannya sampai ke bandara. Sebenarnya Mba Maula mengajakku juga, namun aku menolaknya dengan alasan aku sedang banyak tugas kuliah. Sepertinya Mba Maula pun memahamiku. Sepulang dari bandara, Mba Maula mengatakan bahwa Mas Aal menanyakanku. *** Sore yang kelabu, Desember 2010. Gerimis pertama di awal bulan Desember menjadi saksi bisu babak pertama putusnya persahabatanku dengan Tita. Kala itu Tita berencana menginap dirumahku untuk menyelesaikan laporan kegiatan. “Assalamu’alaikum.” Tita sudah berdiri didepan pintu pagar rumahku dengan baju setengah basah karena gerimis yang dari tadi mengguyur. “Wa’alaikum salam !” sahut Bi Nah sambil berlari membukakan pintu pagar. “Mba Syahdu ada Bi?” tanyanya pada wanita paruh baya yang sudah lebih dari sepuluh tahun bekerja dirumahku. “Lagi keluar Mba.” “Kemana?” “Nggak bilang mau kemana. Owh ya Mba Tita tunggu didalam yuk, langsung ke kamarnya Mba Syahdu aja.” “He,,,eh, makasih Bi.” Sesampainya dikamar, Tita langsung mengeluarkan buku-buku yang ada didalam tas nya, memastikan kalau semua bukunya tidak basah karena terkena gerimis dijalan. Tiba-tiba saja tanpa disadarinya, sebuah foto terjatuh dari salah satu bukunya. Disaat yang bersamaan, Bi Nah masuk dengan membawa nampan berisi teh anget dan makanan kecil. Bi Nah menyangka kalau foto itu milikku. “Hmm....Mba Syahdu pasti tadi lupa naruh fotonya Mas Aal.” Ujar bi Nah sambil memungut foto itu. “Fotonya siapa Bi?” Tanya Tita terkejut. “Fotonya Mas Aal.” Jawab Bi Nah sambil memperlihatkan foto itu pada Tita. “Lho? Bi Nah kenal sama laki-laki yang ada dalam foto ini?” “Ya iyalah Mba, ini kan Mas Aal. Dulu itu Mas Aal sering kesini, waktu masih sama-sama kuliah bareng Mba Maula. Dia itu orangnya baik, ramah, alim pula. Ya wajar saja jika Mba Syahdu suka sama dia.” “Mba Syahdu suka sama Mas Aal??” “Iya, sudah sejak lama Mba Syahdu kan suka sama Mas Aal. Sampai-sampai Mba Syahdu menangis semalaman ketika Mas Aal berangkat melanjutkan studinya ke luar negeri. Hingga kini Mba Syahdu juga tak pernah lupa untuk mendoakannya setiap sehabis sholat.” Papar Bi Nah tanpa beban. Sontak Tita langsung memasukkan kembali semua buku-bukunya kedalam tas. Dia mengurungkan kembali niatnya untuk menginap. “Lho? Mba Tita mau kemana?” tanya Bi Nah keheranan melihat Tita tiba-tiba saja berkemas. “Bi, sepertinya saya nggak jadi menginap malam ini, saya ada acara lain.” “Walah, tapi kan Mba Syahdu nya belum pulang, lagian diluar hujannya cukup deras, apa nggak sebaiknya nunggu reda dulu aja Mba?” “Nggak apa-apa Bi, saya bawa jas hujan. Sampaikan saja pada Mba Syahdu kalau saya kesini” Jawabnya sambil sibuk memasukkan buku-bukunya. “Iya, tapi diminum dulu teh nya, mumpung masih anget Mba?” “Lain kali saja Bi, saya agak terburu-buru.” Ucapnya sambil berpamitan. *** Keesokan harinya aku menghampiri Tita yang sedang duduk di meja kerjanya. “Ta, kemarin ada yang tertinggal dikamarku.” Ucapku sambil menyerahkan foto itu padanya. “Ambil saja, bukankah kau juga membutuhkannya?” jawabnya tanpa menoleh kearahku. “Ta, kamu kenapa?” “Kamu yang kenapa?” balasnya dengan nada lebih tinggi. Aku terdiam. “Aku sungguh tak pernah menyangka kalau ternyata Mba Syahdu diam-diam menusukku dari belakang.” “Ta, aku minta maaf, tapi aku tak pernah bermaksud menghianati persahabatan kita, kau hanya salah paham.” “Alaa....sudah jelas-jelas Mba Syahdu diam-diam suka kan sama Mas Aal, padahal Mba Syahdu tau betul kalau aku mencintainya.” “Ta, dengarkan dulu penjelasanku, memang benar aku pernah menyukainya. Tapi itu dulu, jauh sebelum aku mengenalmu, jauh sebelum kita bersahabat, dan semenjak aku tahu bahwa kau mencintainya lebih dulu, aku memutuskan untuk membunuh rasa ini.” “Owh ya?? Haruskah aku sepenuhnya mempercayai kata-kata itu? Sementara kau hingga kini masih saja mendoakannya? Itu artinya kau masih mengharapkannya. Jangan terlalu munafik Mba.” “Ta, apa ada yang salah jika aku mencintai seseorang, dan senantiasa mendoakan yang terbaik untuknya, tanpa berharap lebih. Hanya ingin agar dia selalu ada dalam lindungan-Nya?” ucapku dengan mata berkaca-kaca. “Terserah lah. Yang jelas aku sudah tidak nyaman lagi bekerja-sama denganmu Mba. Hanya ada satu pilihan, aku atau Mba Syahdu yang keluar dari organisasi ini.” jawabnya sambil berlalu meninggalkanku yang terisak di ruangan itu. *** Kabar tentang keributanku dan Tita dengan cepat menyebar luas dan membuat heboh rekan-rekan organisasi kami. Mereka beramai-ramai membuat spekulasi negatif tentangku. Ada yang secara terang-terangan menyindirku, ada pula yang memberikan tatapan ‘menghakimi’ kearahku. Aku hanya bisa pasrah dan berusaha untuk tabah menerima kenyataan ini, aku sama sekali tak diberi kesempatan untuk membela diri karena hampir semua sahabat-sahabat yang dulu dekat denganku kini mulai menjauhiku. Hanya Mas Fikra yang masih setia memberi dukungan kepadaku. “Du, aku tahu kau tak sejahat yang teman-teman katakan tentangmu. Aku percaya padamu sepenuhnya.” Ujarnya padaku. “Mungkin memang lebih baik jika aku keluar dari organisasi ini Mas. Toh mereka juga sudah tidak mau berkomunikasi lagi denganku.” Jawabku tertunduk. “Kau hanya perlu sedikit bersabar. Aku yakin pasti semua ini akan berlalu.” “Semoga saja, aku pulang dulu.” Kataku sambil berpamitan padanya. “Hati-hati dijalan.” Jawabnya sambil melepas kepergianku. Sejenak setelah aku pergi, Tita muncul. “Ada yang harus kusampaikan padamu Mas.” Katanya sambil berjalan mendekati meja mas Fikra. “Ada apa?” “Aku sudah memutuskan untuk resign dari organisasi ini.” Mas Fikra tak berkedip menatap Tita. “Apa alasannya?” “Kurasa aku tak perlu mengungkapkan apa alasannya, karena aku yakin Mas Fikra sudah tahu alasannya.” Ucapnya dengan nada ketus. “Owh, karena Syahdu? Karena kau dan Syahdu berlomba-lomba memperebutkan Aal? Aku benar-benar menyayangkan sikapmu Ta, kenapa kamu tak bisa membedakan mana masalah pribadi dan mana masalah organisasi? Bukankah sudah sering kukatakan, jangan bawa-bawa masalah pribadi kedalam organisasi?” “Aku tak punya banyak waktu Mas, pilih aku atau Mba Syahdu yang harus bertahan.” “Ternyata cintamu begitu besar padanya, sampai-sampai kamu rela mengorbankan semuanya.” Kata Mas Fikra pelan, lubuk hatinya begitu sedih, betapa selama ini dia mengagumi Tita, berusaha untuk memberikan perhatian padanya, tetapi tetap saja dia tak bisa mengambil hatinya. Tetapi Aal, dengan mudahnya mendapatkan hatinya. “Kau dan Syahdu memegang peranan penting disini, lalu bagaimana jika salah satu dari kalian harus keluar?” “Sejujurnya aku juga tak mau keluar, tapi kalau sampai saat ini Mba Syahdu belum keluar, itu berarti aku yang harus keluar dari sini.” “Aku yang menyuruhnya bertahan sampai saat ini.” “Owh ya?? Jangan dikira aku nggak tahu Mas, Mas Fikra sedang melindunginya kan? Apa tadi dia merengek minta dilindungi?” “Bukan begitu Ta, Syahdu nggak seperti itu. Kau kenal dia dan menurutku sungguh tidak bijak jika aku membiarkannya keluar.” “Aaaahhh....gini jadinya kalau bawa-bawa perasaan.” Ucap Tita kesal. “Kamu ngomong apa?” tanya Mas Fikra keheranan. “Mas Fikra mencintainya kan? Itu sebabnya Mas Fikra menyuruhnya untuk tetap bertahan.” “Tidak. Tapi aku mencintaimu.” Ucapnya sambil berlalu dari ruangannya dan membiarkan Tita tercengang dengan apa yang baru saja ia dengar. *** Hari-hari selanjutnya merupakan masa-masa sulit dalam hidupku. Tita sangat membenciku. Aku merasa sangat sedih karena dia bahkan sama sekali tak mau menyapaku, sekalipun kita berada dalam satu ruangan yang sama. Dia hanya menatapku dengan tatapan yang sulit untuk kutafsirkan. Ya, tatapan yang mampu mencabik-cabik batinku. Sekali lagi aku hanya bisa pasrah dan mengembalikan semuanya pada Alloh. Padahal setengah mati perjuanganku untuk berusaha menghindari mas Aal. Demi Tita, sahabatku. Disaat-saat seperti ini, aku tiba-tiba merindukan Mba Maula. Sejak kepergiannya melanjutkan S2 nya di Australia, aku seolah kehilangan teman curhat. Semua beban aku pendam sendiri. Sahabat-sahabatku yang lain seperti Hanny, Airin dan Ratih lebih memilih untuk berdiri dibelakang Tita. Semakin hari kondisi kesehatanku menurun. Aku panas tinggi hingga membuat orang-orang rumah panik. Abi dan Ummiku memutuskan untuk membawaku ke rumah sakit. Pada akhirnya kudapati diriku tergolek lemas dengan selang infus yang menempel ditangan kiriku. *** Aku membuka mata perlahan, menatap langit-langit dan ruangan yang bewarna putih. Aku menyadari bahwa kini aku sedang berada dirumah sakit. Ada Abi dan Ummi disebelah kananku. Mereka masih tampak cemas. Kulihat Ummi berkali-kali menyapu air matanya. Aku mencoba untuk tersenyum kearah mereka, kutunjukkan pada mereka bahwa aku baik-baik saja. “Mi, jangan menangis.” Ucapku lirih. “Kami sedih melihatmu begini Nak.” Ummi memegang jemariku erat. “Syahdu baik-baik saja.” “Banyak-banyaklah istirahat, jangan terlalu banyak pikiran.” Imbuh Abi sambil membetulkan letak selimutku. Aku mencoba untuk tidur, tapi hanya mata ini yang terpejam. Jiwaku terus terjaga. *** Sejak sakit, aku sholat diatas pembaringan. Setiap usai sholat, aku tak kuasa lagi membendung air mataku. Aku berdoa agar Alloh membukakan mata hati sahabat-sahabatku. “Maafkan aku, Tita.....” Dalam tidurku, sepertinya aku merasakan kehadiran sahabat-sahabatku. Kudengar suara mereka dengan jelas. Aku yakin ini hanya mimpi. Kupejamkan lagi mataku, aku khawatir jika aku terbangun nanti, aku akan menyadari sepenuhnya bahwa mereka hanya hadir dalam mimpiku, bukan dalam dunia nyata. “Syahdu, coba lihat siapa yang datang, Sayang?” ucap Ummi tatkala melihatku terbangun. Aku menoleh, samar-samar kulihat Mas Fikra tersenyum kearahku, lalu disebelahnya ada Hanny, Airin, Ratih dan disebelahnya lagi.....Tita?? aku terkesiap, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja kulihat. Kugosok-gosok lagi mataku, sekedar ingin memastikan bahwa aku tidak sedang berhalusinasi. Namun, sosok itu tetap tak berubah. Ya memang itu Tita. Kulihat Tita menatapku dengan sorotan mata yang teduh. Tatapan yang sering kulihat ketika kami masih menjadi sahabat. Aku sama sekali tak melihat aura kebencian yang akhir-akhir ini ia tunjukkan padaku. Alhamdulillah, Alloh telah menunjukkan ke Maha Kuasaan-Nya. Dia telah mencairkan ego yang selama ini membeku dalam hati Tita. “Maafkan sikapku selama ini Mba.” Isaknya sambil memelukku. “Aku juga minta maaf Ta, aku yang salah.” Jawabku parau. “Tita yang Egois, selama ini Mba Syahdu menyembunyikan perasaannya demi keutuhan persahabatan kita. Itu pasti tak mudah, dan Mba Syahdu pasti sangat terluka. Tapi, Tita malah membuat Mba Syahdu semakin terluka dengan keegoisan Tita.” “Saling memaafkan saja, itu lebih baik bukan?” imbuh Mas Fikra sambil tersenyum. “Kita mulai dari awal lagi.” “Ya, kita mulai dari awal lagi, sahabatku.” Jawabku penuh haru. Semakin hari kondisi kesehatanku semakin membaik. Kehadiran sahabat-sahabatku menjadi suntikan semangat buatku untuk cepat sembuh. Persahabatanku dengan Tita kini kembali terjalin. Sahabat-sahabatku yang dulunya menghindariku sekarang sudah kembali dekat denganku. Aku sangat bahagia sekali. Semoga Mas Aal diluar sana juga bahagia. Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untuknya. *** Hari berganti minggu, minggu pun berganti bulan dan bulan berganti tahun. Sejak keberangkatan Mas Aal ke Mesir tiga tahun yang lalu, kami tak pernah lagi bertemu. Akupun tak pernah tahu apakah disana dia masih sempat mengingatku ataukah tidak. Yang jelas, doaku tak pernah terputus untuk mendoakan yang terbaik untuknya. Hingga akhirnya kami dipertemukan kembali dalam acara pesta pernikahan Mba Maula dan Mas Iqbal. Ia tak banyak berubah, masih sama seperti dulu. Jelas sekali kulihat ia tersenyum kearahku. Aku tersenyum, jeda waktu dimana ia tak pernah muncul lagi didepanku, senyumnya membuat asa ku yang gersang kini mulai hidup kembali. Dalam hati bersemilah harapan, semoga Alloh kelak mempertemukan kami dipelaminan itu, mengikat janji untuk berbagi dalam suka dan duka, mendidik anak-anak kami hingga menjadi ulama besar. “Mereka tampak serasi ya?” ucapnya membuyarkan lamunanku. “Ya, serasi sekali.” Jawabku tanpa berani menatapnya. “Du, maukah kau menikah denganku?” ucapnya mengejutkanku. Ia menatapku. Aku kehilangan kata-kata. Lidah ini terasa kelu untuk menjawab pertanyaannya. “Du, aku sudah menyelesaikan kuliahku, aku juga sudah bekerja. Aku ingin menepati janjiku dahulu bahwa aku akan menjemputmu.” Imbuhnya dengan penuh kesungguhan. “Aku tidak bisa.” Jawabku menggeleng pelan sambil menahan air mata yang hampir tumpah. “Mengapa Syahdu? Apakah sudah ada sosok lain yang mengisi hatimu?” Aku kembali menggeleng. “Lalu??” “Tita lebih pantas untukmu Mas.” Ucapku lirih. “Tapi aku memilihmu, Syahdu? Bukan Tita, karena aku mencintaimu dengan segala kekurangan dan kelebihanmu.” “Aku belum bisa se-sholekhah Tita Mas.” “Aku akan membimbingmu. Kau tak perlu khawatirkan itu.” *** Hari ini aku datang berbagi doa untuk sahabatku. Semoga kau bahagia. Memoriku berselancar, kuingat nostalgia saat kita sama-sama merentas mimpi dan membangun asa. Meski persahabatan kita banyak diurai tangis dan tawa, namun didalamnya aku mengerti arti sahabat yang sesungguhnya, sebuah ikatan yang sangat berharga untuk dipertahankan. Terimakasih telah menjadi sahabat terbaikku, Tita. Kulihat kau tampak begitu bahagia dengan pestamu. Semoga kau dan Mas Fikra bisa membangun keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah seperti yang kau impi-impikan sejak dulu. Aku tak datang sendirian, aku ditemani Mas Aal yang kini telah menjadi suamiku, serta si ‘Alif’ kecil yang ada dalam gendongannya. Semoga pertemuan selanjutnya kutemukan kau dan Mas Fikra serta ‘si jagoan kecilmu’ yang semakin memperlengkap kebahagiaan kalian. Amiin. *TAMAT* Baca Sambungannya : 1.Setetes Embun di Hati Syahdu Part. I 2.Setetes Embun di Hati Syahdu Part. II PROFIL PENULIS Ulfatul Khadroh, TTL : Kebumen, 7 Maret 1991 Facebook : Ulzahrah Syiefaa Khozin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar