Minggu, 14 September 2014

Setetes Embun di Hati Syahdu Part. I Karya Ulzahrah Syiefaa Khozin Setetes Embun di Hati Syahdu Part. I Karya Ulzahrah Syiefaa Khozin SETETES EMBUN DI HATI SYAHDU PART. I Cerpen Karya Ulzahrah Syiefaa Khozin “Hmm....kamu naksir ya??” “Enggak !!” “Aaahh yang bener??” “Beneran enggak !!” Jawabku sambil pura-pura sibuk dengan ponselku. “Terus kalau nggak naksir, kenapa tiba-tiba nanya tentang dia?” Kata Mba Maula Masih menggodaku”. “Yaa..cuma pengen tahu tentang dia aja ! Elakku. “Cuma pengen tahu aja, atau pengen tahu banget?? “ Sahut Mba Maula semakin menggodaku. “Ah terserah Mba aja dech, mau dikasih tahu apa enggak juga gak ngaruh-ngaruh amat koq. Mba Maula kayak gak kenal Syahdu aja. He is completely not my type !!.” Jawabku cepat-cepat sembari menutupi kegugupanku. “Iya, iya dech nggak usah ngambek gitu, ntar ilang lho cantiknya??”. Aku masih cemberut. Melihat ngambekku yang semakin menjadi, Mba Maula pun akhirnya mengakhiri candaannya.” “Iya,,iya, namanya Alif, tapi temen-temen biasa memanggilnya Aal, dia salah-satu mahasiswa terbaik se-angkatanku.” “Ooohh...!” jawabku sambil manggut-manggut dan berusaha bersikap setenang mungkin. Padahal sih hatiku seneng bangeeett, akhirnya akupun berhasil mengantongi namanya. *** Hari ini genap satu tahun sudah aku mengenalnya. Kebetulan Mba Maula itu cukup dekat dengannya. Mereka rekan satu organisasi. Sama-sama aktivis BEM ceritanya. So, it is not quite difficult for me to gain some information about him. Sejauh pengamatanku sampai sekarang ini, aku memperoleh beberapa catatan kecil tentangnya. Mas Aal itu ternyata orangnya ramah, supel, dan sederhana alias enggak neka-neko. Dan yang lebih penting lagi nih, dia itu paling alergi sama yang namanya asap rokok!! Wah..waah keren banget kan, hari gini susah nemuin laki-laki yang kagak doyan rokok. Paling seneng tuh kalo ngeliat dia lagi jalan bawa ‘kitab’ gitu, aku bagai melihat calon ulama besar di masa depan. Hehee...macam peramal saja aku ini. Pertama aku mengenalnya pas waktu aku nemenin Mba Maula buka puasa bersama anak-anak BEM kampusnya. Waktu itu sih dalam rangka menyambut Nuzulul Qur’an. Aku juga enggak tahu kenapa sejak aku mengenalnya aku bagai larut dalam dunia baruku. Aku yang dulunya pakai jilbabnya kalo pas suasana hatiku lagi baik doang, sekarang sudah mulai belajar beristiqomah untuk memakainya. Mungkin karena suasana hatiku sudah mulai stabil kali yaa, heheee.... Sholatku yang dulunya sering aku delay nanti-nanti, kini alhamdulillah bisa diawal waktu. Tadarus Qur’an ku yang dulunya tambal-sulam alias bolong-bolong, bahkan merupakan agenda tahunan pas bulan Ramadhan saja, kini sudah Masuk dalam daftar agenda harianku. Pokoknya banyak banget dech pengaruh positive-nya terhadapku. Mba Maula bukannya nggak ‘ngeh’ sama perubahan yang aku alami saat ini. Dia bahkan mengatakan bahwa dia adalah orang yang paling bahagia atas keinsyafanku. Dia pernah menanyakan padaku apakah aku berubah hanya karena Mas Aal? Sontak aku membantahnya. Kutegaskan padanya bahwa aku berubah semata-mata karena Alloh. Namun, tak bisa kupungkiri bawa Mas Aal lah yang menjadi perantaraku untuk sampai pada ‘cahaya’ itu. “Alif itu di elu’-elukan banyak wanita, Syahdu? Kamu harus berbesar hati jika kelak bukan kamu yang memenangkan hatinya.” Kata Mba Maula menasehatiku. “Apakah aku tak cukup pantas untuknya Mba?” “Kamu pantas Syahdu, sangat pantas malah, jika kamu selalu memantaskan dirimu untuknya. Berusahalah untuk mengimbangi keshalehan dia agar Alloh senantiasa menyondongkan hatinya padamu.” Ujar Mba Maula sembari memelukku seolah ingin menguatkan hatiku. *** Sore tadi sehabis sholat asyar dimasjid, kuberanikan diri untuk menemuinya. Kukatakan padanya tentang perasaan yang selama ini ‘nyesek’ dihatiku. Dia tampak diam sebentar. Aku tahu mungkin dia sedang berpikir bagaimana caranya untuk menjawab pertanyaanku tanpa harus melukai perasaanku. Hingga akhirnya dia pun berucap, jawaban yang memang sudah aku prediksi sebelumnya. “Syahdu, aku belum bisa mengiming-imingimu harapan karena aku belum yakin kelak akan bisa memberi kelanjutan, aku tidak mau menebarimu khayalan indah jika aku belum yakin akan sanggup memberimu kepastian. Karena sesungguhnya yang menunggulah yang paling tersakiti, dan aku tidak ingin menyakitimu. Jika kelak Alloh menakdirkan kita untuk bersama, kau tak perlu datang kepadaku. Namun, aku sendiri yang akan datang menjemputmu.” Aku terpaku, diam bagai patung, kurasakan ada sesuatu yang menusuk hatiku, pedih, pediiiih sekali, “Duuhh Gustiii, beginikah rasanya patah hati??!!” Bisikku dalam hati, “Du, kau tak apa-apa?” tanyanya melihatku terpaku. Aku menggeleng pelan, tanpa berani menatapnya. “Du, aku benar-benar minta maaf, sungguh aku tak bermaksud menyakitimu, tapi...... “Aku yang seharusnya minta maaf Mas, tak sepantasnya aku berkata seperti itu padamu, rasa ini yang salah.” Kataku tertunduk. Mas Aal tersenyum, dan kemudian mencoba untuk duduk disampingku. Kupalingkan wajahku memandang Nun jauh kesana, sebuah kamuflase yang sengaja kuciptakan untuk menutupi kesedihanku. “Du, kejadian ini mengingatkanku atas peristiwa yang kualami tiga tahun lalu. Lebih tepatnya saat aku jatuh cinta pada seorang gadis. Pada awalnya aku menganggap bahwa rasa sayangku padanya layaknya rasa sayang seorang kakak pada adiknya. Maklumlah, dia tiga tahun lebih muda dariku. Hingga lambat-laun aku menyadari bahwa aku mulai mencintainya. Aku memikirkannya setiap saat, dan ini sangat menggangguku. Konsentrasiku terusik, makan tak enak, tidur pula tak nyenyak, sampai akhirnya kuputuskan untuk mengungkapkan perasaanku padanya, dan kau tahu apa yang terjadi?? Dia MENOLAK-KU!! “Hah??, Aku terkesiap, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. “Ya, dia MENOLAK-KU,” Mengulangi kata yang baru saja diucapkannya. Aku mulai tertarik dengan ceritanya, “Kenapa bisa begitu?” “Dia masih ingin mengejar mimpinya, soal jodoh itu takdir Alloh, dan pasti akan bertemu jika sudah tiba waktunya. Begitu katanya.” “Apa kau tak sakit hati padanya?” “Adakah goresan yang tak menimbulkan luka? Rasa sakit itu pasti ada, itu manusiawi, tapi aku yakin Alloh akan memberi ‘lebih’ dari apa yang aku harapkan. Aku malah salut dengan keteguhan hatinya, dan aku memberinya seuntai tasbih.” “Du, apakah kau membenciku sekarang?” Tanyanya serius, Aku menggeleng, “Bukankah jodoh itu adalah takdir Alloh, dan pasti akan bertemu jika sudah tiba waktunya?” Ucapku sambil mencoba tersenyum kearahnya. “Semoga Alloh memberi yang terbaik untuk kita.” Jawabnya sembari tersenyum. “Du, sepertinya hujan sebentar lagi turun, sebaiknya kita pulang.” Ajaknya padaku. Akupun mengangguk, kami berjalan kearah yang berlawanan, meski berat hatiku menerima kenyataan ini, aku berusaha untuk tetap tegar. Kulangkahkan kakiku menyusuri jalan yang disinari cahaya ke-emas-an. Aku menengadah beberapa saat kelangit, menahan air mataku agar tidak terjatuh. Tapi Alloh begitu baik, senja yang indah itu melukis senyumnya, aku tersenyum, dan tanpa bisa kutahan lagi air mataku menetes, “Mas Aal, semoga kelak Alloh menakdirkanmu untukku.” Bisikku dalam hati. *** Setelah kejadian di masjid itu, aku mulai menghindarinya. Aku berusaha sekeras mungkin untuk bangkit dari keterpurukanku. Kusibukkan hari-hariku dengan seabrek aktivitas lain. Alhamdulillah, sekarang aku sedang dipercaya untuk mengurusi kegiatan bakti sosial untuk anak yatim dan dhuafa. Dalam kegiatan ini, aku diberi tanggung-jawab sebagai seksi pubdekdok. Aku dibantu oleh seorang adek semesterku bernama Tita, asalnya dari Malang. Dia cantik, pinter dan periang. Selain itu, Tita merupakan tipikal gadis dengan pembawaan yang supel sehingga mudah bergaul dengan siapa saja, meskipun dengan orang yang baru dikenalnya. Yang bikin aku kagum lagi nih, Bahasa Arabnya joss banget, maklumlah dia itu lulusan dari salah satu pondok pesantren modern ternama di Jawa Timur. Bahkan dia pernah menjadi juara umum debat bahasa Arab tingkat nasional. Waahh...keren kan? Selain pintar bahasa Arab, dia juga pintar memainkan berbagai alat musik baik yang klasik maupun yang modern. Pokoknya multi-talented baget lah. Aku beruntung banget bisa bekerjasama dengannya. Aku jadi banyak belajar darinya. Persahabatanku dengan Tita terjalin begitu erat. Meski baru beberapa bulan kami saling kenal, kami bagai sahabat lama yang sudah bertahun-tahun bersama. Tita sering curhat denganku, dia bilang sih aku orangnya enak diajak curhat. Padahal rasa-rasanya aku jarang sekali lho memberikan solusi atas masalahnya. Aku hanya mendengarkan ceritanya. Sesekali menimpali disana-sini, yaa sejauh pemikiranku saja, lalu, dia menemukan sendiri solusi dari masalahnya itu. Hebat kan? Tita sering cerita tentang kejadian-kejadian unik ketika dia masih di pondok pesantren, tentang kisah kocak teman-temannya, tentang hobinya, tentang kilasan kisah asmaranya (meski nama tokohnya di sensor dengan menyebutkan inisial-nya saja, tapi bagiku itu gak jadi masalah sih. Ini kan sifatnya privasi, lagian kalaupun dia sebut namanya secara utuh, aku juga gak kenal mereka, begitu pikirku). Aku juga sering curhat dengan Tita. Mulai dari keluarga, teman-temanku, aktivitasku, harapan-harapanku, pokoknya banyak banget dech yang aku ceritakankan padanya. Kalau aku tuangkan ceritaku dalam bentuk tulisan, mungkin gak kalah dengan jumlah halaman skripsi yang sedang disusun Mba Maula, hehee...terlalu hiperbolik juga ya aku ini? Eiiitz...tapi ada satu hal yang tak pernah aku ceritakan padanya, yaitu tentang kekagumanku pada Mas Aal. Terkadang diberbagai kesempatan, aku ingin sekali menceritakan padanya. Sebagai sesama wanita, aku ingin mendapat tanggapan darinya, tapi entah kenapa setiap kali aku hendak bercerita, aku merasa ada sesuatu yang menahanku. Hingga akhirnya kuputuskan untuk menutup hal ini rapat-rapat darinya. *** Sabtu yang cerah diawal bulan November... Hari ini aku dan Tita menyebarkan pamflet kegiatan Pekan Anak Yatim dan Dhuafa. Tepat pukul setengah satu siang aku dan Tita sampai di fakultasnya Mba Maula. Sebenarnya aku rada kurang nyaman untuk datang kesitu. Aku takut ada Mas Aal disitu. Namun, karena ini menyangkut kepentingan ummat, jadinya kuputuskan untuk tetap kesitu. Ku kesampingkan dulu masalah pribadiku. Lagian ini kan hari Sabtu, jadi kemungkinan ‘dia’ juga nggak ada dikampus, pikirku dalam hati. Aku dan Tita mulai membagi-bagikan pamflet. Tiba-tiba saja kulihat ekspresi wajah Tita mendadak sumringah. Matanya berbinar-binar, sepertinya dia baru saja melihat seseorang yang sangat dikenalnya. Dengan suara riang dia memanggil orang itu. “Mas Aal, Assalamu’alaikum!!” Sontak aku terperanjat, aku berbalik arah, kini kulihat sosok itu dengan jelas. Dengan senyum khasnya yang Masih tersungging diwajahnya, dia mulai berjalan kearahku. Ya kearahku, oh bukan!! Lebih tepatnya lagi ke arah kami. Aku menghela nafas, kutata hatiku untuk bersikap setenang mungkin, seolah memang tidak pernah terjadi apa-apa diantara aku dan dia. “Wa’alaikum salam, Kalian sedang apa?” Tanyanya kepada kami. “Ini Mas, kami sedang membagikan pamflet untuk kegiatan pekan anak yatim dan dhuafa. Kalau Mas Aal ada waktu, besok Senin datang ya?” Jawab Tita antusias sambil menyerahkan pamflet padanya. “Owh ya insyaAlloh.” Jawabnya sambil menerima pamflet itu. Setelah itu dia menengok kearahku, “Syahdu gimana kabar?” Tanyanya sambil tersenyum kepadaku. “Alhamdulillah baik Mas.” Jawabku sembari mencoba untuk tersenyum kearahnya. “Lho, kalian saling kenal juga?” Tanya Tita heran. “Iya dhe’ Tita, Syahdu itu adeknya sahabatku.” “Waahh....ternyata dunia begitu sempit ya? Mba Syahdu, Mba Syahdu, Mas Aal ini kakak kelasku dulu waktu di Aliyah, dia itu dulu jadi ketua Osis-ku. Nggak nyangka kalau kita bakalan bareng lagi dikampus ini.” Kata Tita girang. “Owh ya??” Jawabku disertai dengan senyum yang agak kupaksakan. Satu jam selanjutnya mereka gunakan untuk bernostalgia tentang masa-masa di Madrasah Aliyah dan juga saat mereka masih berada dalam satu pesantren yang sama. Mereka kelihatan akrab sekali. Tita sangat antusias menceritakan ini-itu bla...bla..blaaa, disela-sela pembicaraan mereka diselingi pula percakapan dengan menggunakan bahasa Arab yang membuat keningku berkerut untuk kesekian kalinya karena tak paham. Aku?Aku hanya bisa manyun disudut kursi. Bosan mendengar pembicaraan mereka, tapi juga tak enak hati untuk pergi. Kurasa pembicaraan mereka sedari tadi ya seputar itu-itu saja, gak ada yang begitu penting menurutku. Hawa yang semakin panas kurasakan mungkin dari teriknya matahari disiang ini, atau mungkin dari hatiku sendiri atau bisa jadi dari keduanya membuat kepalaku mendadak pusing. Berkali-kali aku sengaja terbatuk-batuk meski tenggorokanku sama sekali tak terasa gatal. Sedikit-sedikit aku melirik arloji di tangan kiriku, berharap ada salah satu dari mereka menangkap pesanku. Namun lamaaa sekali berselang, pembicaraan mereka tak kunjung juga berakhir. Duh....rupanya dua orang ini memang pura-pura budhek apa budhek beneran sih? Sebel aku dibuatnya. Merasa bahwa aku sudah ‘tak nyaman’ dengan pembicaraan mereka, Mas Aal pun akhirnya berpamitan, mereka terlihat bertukar nomor handphone. Setelah melepas kepergian Mas Aal, aku bisa menangkap rona bahagia diwajah Tita. Entah apa yang sedang ada dalam pikirannya. *** Blamm!! Aku menutup pintu kamarku rapat-rapat, menguncinya. Kuhempaskan tubuhku diatas ranjang sambil menghembuskan nafas sebebas-bebasnya. Rasa-rasanya sulit kupercaya kalau ternyata Tita dan Mas Aal sudah saling kenal sejak lama. Kenapa sekarang semuanya seolah saling berkaitan? Aku sangat shock menerima kenyataan ini. Entah sudah berapa lama pikiranku berkelana saat pintu kamarku diketuk. Terdengar suara Ummiku memanggil dari balik pintu. Segera kuhapus air mataku. Kubuka pintu kamarku, melihat wajahku yang sayu, beliau bertanya apakah aku sedang lelah saat ini? dan langsung kujawab saja, ya. Sebenarnya ingin kujawab kalau aku sedang depresi, tapi aku tak ingin beliau menghawatirkanku. “Makan malam dulu Sayang, Abi dan Mba Maula sudah menunggu dibawah.” Akupun mengangguk, kuikuti langkah beliau dari belakang. Heran, bagaimana mungkin aku lupa bahwa ternyata aku belum makan apa-apa sejak tadi siang, rupanya kekalutanku sedikit mengganggu nafsu makanku. Tidak seperti biasanya, kami makan dengan saling berdiam diri. Aku tidak tahu apakah aku sedang merasa lapar atau tidak. Selesai makan, aku membereskan sisa makananku dan langsung kembali ke kamar tanpa berkata apa-apa. Kembali kuhempaskan tubuhku diatas kasur. Kubenamkan mukaku dibawah bantal, aku terisak. Tak lama terdengar pintu kamarku terbuka. Aku berbalik, agak sedikit canggung saat melihat Mba Maula mendapatiku menangis. Dia duduk disisi ranjangku. “Du, kamu menangis?” Aku tak kuasa menjawab, hanya kutunjukkan padanya bahwa aku menangis. “Kenapa menangis?” Mba Maula menggenggam jemariku erat. Isakku semakin menjadi, sampai tubuhku terguncang. “Ya sudah, tenangkan dirimu dulu, besok kalau sudah tenang, Syahdu boleh cerita sama Mba Maula, nanti Mba bantu cari solusinya.” Aku mengangguk pelan, “Owh ya Du, kalau sudah agak tenang sebaiknya ambil wudhu dan sholat dua rokaat, ngadu sama Alloh semua unek-unekmu pada-Nya, nanti hatimu akan lebih tenang. Setelah kepergian Mba Maula, akupun beranjak mengambil air wudhu. Usai sholat, ada setitik air mata disudut kedua bola mataku. Diantara untaian doa ku selama ini, aku selalu menyelipkan namanya agar Alloh menakdirkan aku dengannya. Namun sikap Tita tadi siang seolah memupuskan harapanku. Mengapa ia seolah menyimpan kekaguman padanya pula?Apakah mungkin kalau ini adalah jalan menuju takdir itu? Lalu bagaimana dengan nasib persahabatanku dengan Tita? Segalanya mungkin tidak akan jadi masalah jika aku tidak pernah mencintai Mas Aal. Tapi aku sudah terlanjur mencintainya. Dan kalau ternyata Mas Aal lebih memilihnya, sanggupkah aku merelakan dia untuk sahabatku? Pertanyaan-pertanyaan itu bermunculan tanpa satupun yang berhasil kujawab, hingga akhirnya akupun terlelap.... *** Hari ini merupakan hari pertama dibukanya acara pekan anak yatim dan dhuafa. Hasil karya anak-anak dipamerkan berjejer memanjang di selasar gedung. Terlihat menakjubkan sekali. Ada lukisan alam, abstrak, sketsa, payet, dan masih banyak lagi bentuk-bentuk kerajinan hasil kreasi mereka. hasil kreasi mereka dipamerkan dan dilelang kepada setiap pengunjung yang tertarik, dan kemudian uangnya akan disumbangkan ke-yayasan sosial seperti Panti Asuhan dan Rumah Singgah. Alhamdulillah, pengunjung yang datang hari ini cukup banyak, aku dan Tita sibuk mendokumentasikan hasil karya anak-anak. Berhubung Tita yang mempunyai keahlian dibidang fotografi, jadinya dia yang ditugaskan untuk memegang kamera, sementara aku mencatat dan menandai karya anak-anak. “Assalamu’alaikum!” sebuah suara yang sangat kukenal menyapa renyah, disertai sesosok pria tampan mendekat kearah kami. Pagi ini ia terlihat sangat rapi dengan celana jeans dan atasan kaus abu-abu lengan panjangnya, kemudian dipadu dengan scarf warna senada bertengger gagah penuh kharisma meliliti lehernya. Nggak terlalu formal sih, tapi cukup kelihatan exlusive dan elegan. “Wa’alaikum salam!” balas kami serentak. Dibanding sikapku yang terkesan cuek bebek, Tita justru terlihat lebih welcome, dia mengajak Mas Aal berkeliling mengamati hasil karya anak-anak, sesekali ia mempresentasikan karya tersebut pada ‘tamu istimewa’ nya itu. “Ya iyalah, namanya juga mahasiswi Public Relation, emang harusnya pinter promosi dong.” Cibirku dalam hati. Astaghfirulloh, kenapa aku jadi sinis begini? cepat-cepat kuucapkan istighfar dalam hati. Sementara itu, aku hanya mengekor dibelakang mereka. Sejujurnya aku juga ingin bersikap manis didepannya. Namun, melihat sikap Tita yang terkesan mendominasi, kuurungkan kembali niatku. Begitulah, aku memang terkadang kurang pandai memanfaatkan situasi. Mas Aal terlihat sangat serius mengamati satu-persatu karya anak-anak. Dan tiba-tiba saja Tita menjepretkan kameranya tepat didekat wajah Mas Aal. Sontak diapun terkaget-kaget. Dia tampak keberatan dengan sikap Tita barusan. Namun, Tita malah tertawa. Tita meyakinkan bahwa hasil fotonya justru terlihat lebih natural. Aku hanya bisa tersenyum kecut melihat kelakuan mereka. Mungkin menyadari bahwa Aku ada dibelakangnya, Mas Aal menoleh kearahku. Buru-buru kupasang sikap manis didepannya, seolah ingin kupamerkan padanya bahwa aku sama sekali tidak merasa terganggu dengan kelakuan mereka. Sementara itu, Tita malah mempunyai ide lain. Dia memintaku untuk memotretnya berdua dengan Mas Aal. Dengan berat hati, akupun mengambil kamera yang ditujukan Tita kearahku. Sempat kulihat Mas Aal menatapku lamat-lamat, sepertinya ia tak enak hati padaku. Jika aku boleh jujur, ingin rasanya kukatakan ENGGAK MAU. Namun, sebagai seorang sahabat, nggak mungkin kan aku katakan pada Tita kalau aku ENGGAK MAU? Nanti bisa-bisa ia malah semakin menaruh curiga padaku. Ya sudahlah kuturuti saja kemauannya, meski sebenarnya hatiku gondok berat. Seolah ingin menebus rasa bersalahnya, Mas Aal menawarkan diri untuk memotret aku berdua dengan Tita. Akupun tak punya alasan untuk menolak. Jadilah aku foto berdua dengan ‘si gadis centil’ itu. Dan ternyata aku baru menyadari bahwa ini adalah kali pertamanya kami foto berdua sejak awal perkenalanku dengan Tita, sekitar empat bulan yang lalu. Dan uniknya lagi, justru yang memotret kami adalah orang yang sama-sama kami kagumi. Ya, beginilah hidup, terkadang ada hal-hal yang terjadi dan tak pernah terpikirkan sebelumnya. Tak lama berselang, handphone Tita berdering. Rupanya dari Mas Fikra, ketua panitia kegiatan ini, dia meminta foto dokumentasi yang ada dikamera. Tita meminta izin untuk pergi sebentar. Jantungku langsung berdegup kencang. Setelah peristiwa pengakuanku dimasjid beberapa waktu yang lalu, ternyata meninggalkan rasa malu yang terselubung, rasa sungkan menyelungkup dihatiku. Mas Aal tidak berkata apa-apa dan aku juga lebih memilih untuk berdiam diri. Dan akhirnya kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing. “Eh, acaranya ba..bagus sekali ya.” Ucapnya gugup. Perkataannya barusan membuat hatiku tertawa, kenapa bahasanya kaku sekali? Bukankah biasanya dia selalu pandai merangkai kata-kata? “Terimakasih.” Jawabku sekenanya. Hatiku bergumam, kagumkah ia? Atau hanya sekedar ingin memecah kesunyian diantara kami? Entahlah, aku tak mau tahu. “Emang acaranya sampai hari apa?” imbuhnya lagi, namun kali ini lebih rileks. “Sampai Minggu besok, sekalian menghabiskan masa liburan sekolah mereka.” jawabku masih sok cuek. “Hmm...kalau Rabu pekan depan Syahdu ada acara?” “Memangnya kenapa?” Ada ke-PeDe- an menjalari jiwaku. “Kalau nggak ada acara, datang ya di acara seminarku Rabu pagi jam 10.” “Hmm....acaranya pagi ya?” jawabku pura-pura layaknya orang yang tengah berpikir keras. “Iya, Syahdu nggak bisa?” tanyanya mulai khawatir. “He...eh mungkin agak telat, soalnya aku sudah terlanjur ada janji.” Jawabku bohong. “Telat juga nggak apa-apa, nanti aku sisakan satu kursi untukmu. Tapi kalaupun nggak bisa dateng ya jangan kamu paksakan, cukup doanya saja.” jawabnya penuh kesungguhan. “InsyaAlloh.” Suasananya tampak mulai mencair. Antara aku dan dia mulai saling bertukar cerita. Namun, itu tak berlangsung lama setelah Tita kembali datang ditengah-tengah kami. *** Hari ini acara Pekan Anak Yatim dan Dhuafa telah usai. Alhamdulillah acaranya berjalan dengan lancar. Meskipun melelahkan tapi acara ini mampu meninggalkan kesan yang begitu dalam dihatiku. Kubereskan tumpukan dokumen yang ada diatas meja. Aku mulai memilah-milah berkas yang penting dan yang harus dibuang. Ditengah-tengah kesibukanku membenahi buku-buku yang berserakan, tiba-tiba saja tanpa sengaja aku melihat sebuah buku bersampul biru muda. Mungkin milik salah satu panitia yang tertinggal disini pikirku. Perlahan kubuka buku itu, dipojok kanan atas halaman pertama tertera sebuah nama “Alan Alif Ar-rasyid”. Ketika aku sedang menerka-nerka siapa pemilik nama itu, tiba-tiba saja Tita Masuk. “Mba Syahdu, itu bukunya Mas Aal.” “Bukunya Mas Aal? Kok bisa ada disini?” Tanyaku heran. “Iya Mba, dia yang meminjamkannya padaku.” “Meminjamkannya??” Tanyaku mempertegas. “Tita minta diajarin bahasa Arab sama Mas Aal, terus dia meminjamiku buku itu. Rencananya nanti seminggu dua kali aku belajar dengannya. Sebenarnya dia juga menawariku buku-buku lain untuk kubaca sendiri. Tapi aku lebih suka bila dia langsung yang mengajariku. Itu akan lebih memudahkanku untuk memahaminya.” Jawabnya dengan wajah berseri-seri. “Oohh...” Kataku manggut-manggut. Dihati setengah mencibir. Ada terselip rasa cemburu dihatiku. Entah kenapa, ada perasaan tidak rela dalam diriku dari pengakuan Tita barusan. Dan aku sama sekali tidak sanggup membayangkan kalau mereka akan sering bertemu. Setahun lebih aku dekat dengan Mas Aal, tak pernah sekalipun dia menawariku seperti itu. “Huh dasar si Tita nya aja yang kecentilan!” lagi-lagi pikiranku mengambil kesimpulan yang miring atas sikapnya. “Mba Syahdu mau dibantu beres-beres?” “Enggak usah, ini tanggung jawabku, sebentar lagi juga selesai.” Jawabku datar, lebih terkesan acuh, bahkan cuek. “Kalau begitu Tita tungguin sampai Mba Syahdu selesai ya, nanti kita pulang bareng.” Balas Tita lebih sopan dan hati-hati. “Duluan saja, nanti Mba Maula yang menjemputku.” Imbuhku lebih cuek. “Owh ya sudah.” Kata Tita sambil terbengong-bengong atas sikapku. Dan kemudian pergi meninggalkanku sendiri. Aku marah padamu Tita, kalau kamu tahu itu! Bisikku dalam hati. Sebenarnya hati kecilku mengatakan bahwa tak seharusnya aku marah padanya. Namun, aku tak mampu untuk sekedar menyembunyikan kekesalanku padanya. Sedangkan Tita, dia bahkan tidak cukup pandai untuk mengetahui alasan kenapa aku marah padanya. Begitulah dia, orang yang sangat kurang ‘peka’ dengan kondisi sekitar. Lalu bagaimana dengan nasib persahabatan kami selanjutnya? Entahlah. *** Hari ini menjadi hari yang sangat melelahkan bagiku. Setelah cukup capek beres-beres usai kegiatan, akupun harus menunggu Mba Maula menjemputku. Sebenarnya tadi Tita menawariku untuk pulang bareng seperti yang biasa kami lakukan sepekan terakhir ini, tapi kali ini aku menolak tawarannya. Aku masih kesal dengannya. Se-senja ini belum ada tanda-tanda kalau Mba Maula mau datang. Aku melirik arloji ditangan kiriku. Ternyata sudah menunjukkan pukul empat lebih seperempat. Itu berarti aku sudah menunggunya sejak empat puluh lima menit yang lalu. Aku menghela nafas, serasa ingin membuang beban yang menghimpitku. Kini terbayang kembali pengakuan Tita barusan. Ada kalimat yang menohok dari ucapannya. Menawarimu?? Yang benar saja, memangnya se-istimewa apa kamu dimata Mas Aal? Bisikku dalam hati. “Lho, belum pulang Du? Suara Mas Fikra membuyarkan lamunanku. “Eh, iya belum Mas, lagi nunggu Mba Maula masih dijalan.” “Tumben nggak bareng Tita? bukannya kalian searah?” “Iya, tapi tadi sudah terlanjur bilang Mba Maula suruh jemput.” Jawabku sekenanya. “Ooohh...” ujarnya menganggukkan kepala. Mungkin karena tak tega melihatku menunggu sendirian, Mas Fikra akhirnya memutuskan untuk menemaniku. Kebetulan dia juga kenal baik dengan Mba Maula. Mereka dulu teman satu SMA. Mas Fikra pun pernah beberapa kali main kerumah. Jadi aku dan Mas Fikra sudah lumayan akrab jauh sebelum adanya kegiatan ini. Selang lima belas menit kemudian, sebuah Honda Jazz bewarna putih melaju kearah kami. Alhamdulillah, akhirnya Mba Maula datang juga. “Sudah lama nunggunya ya?” tanyanya pada kami. “Iya tuh kasihan adekmu sampai lumutan nungguin kamu.” Ucap Mas Fikra sambil tertawa. “Hehee, iya maaf, tadi habis ada urusan sebentar, makasih ya udah dijagain.” Ucapnya pada Mas Fikra sambil tertawa. Setelah berterimakasih, kami pun berpamitan. “Tadi aku mampir ke kos-nya Aal dulu. Ada berkas yang harus kuambil.” Papar Mba Maula padaku. Aku diam saja. “Lagian Syahdu ngabarinnya mendadak sih, coba kalau ngomongnya sejak pagi. Kan Mba bisa ambil berkasnya tadi pagi.” Imbuhnya lagi. “Kepikirannya juga baru tadi siang.” Sahutku membela diri. “Hmm..Syahdu tuh kebiasaan. Eh iya tadi ada pesen dari Aal, kalau ada waktu, kamu disuruh dateng di acara seminarnya hari Rabu jam 10, bisa kan?” “Belum tahu lah besok.” Jawabku berpura-pura tak tertarik. “Lho, tumben banget. Biasanya Syahdu paling antusias kalau ada acara yang berkaitan dengan Aal.” Ujar Mba Maula keheranan. “Syahdu sudah ada acara kok.” “Acara apa? Bukannya setiap Rabu kamu gak ada kuliah?” “Pokoknya ada acara.” Ucapku ngotot. “Hmm..ya sudah, tapi denger-denger kata Iqbal nih, Aal kemarin datang ke acara Pekan Anak Yatim dan Dhuafa, pastinya ada yang ngundang dong?” goda Mba Maula cengar-cengir. “Itu Tita yang ngasih undangan kok, bukan Syahdu.” “Tapi seneng juga kan kalau dia akhirnya dateng? Hayo ngaku?” Mba Maula semakin menggodaku. “Oh iya, tadi tuh Mba Maula sengaja dateng ke kosan Mas Aal mau ambil berkas apa mau nemuin Mas Iqbal ya? Cecarku balas menggodanya. “Husst...jangan berisik. Udah mau magrib nih, nggak elok kalau bercanda maghrib-maghrib dijalan.” Kata Mba Maula sok bijak. *** Rabu pagi pukul 09.37 am. Pagi ini ada yang berbeda dengan penampilanku. Kukenakan gamis abu-abu dengan paduan blazer putih, serta kerudung abu-abu dan head band warna senada yang semakin mempermanis tampilanku. Aku memang sengaja menghabiskan waktu hampir satu jam untuk berdandan seperti ini. Kulangkahkan kakiku dengan mantap melewati koridor menuju ruang teatrikal tempat Mas Aal seminar pagi ini. Aku memandang lurus kedepan, semakin yakin untuk datang ketempat itu. Tapi, tiba-tiba saja Tita memanggilku. “Mba Syahdu,,,Mau kemana? Tanyanya dengan ramah kepadaku. Aku menoleh, ia berjalan tergopoh-gopoh kearahku. Kulihat ada setumpuk kertas ditangannya. Hatiku sepertinya telah mampu membaca apa yang sedang ia lakukan saat ini. “Mau kesana.” Jawabku sambil pura-pura menunjuk kearah gedung perpustakaan. “Owh, mau pinjam buku ya mba?” ucapnya sambil tersenyum. “Iya, Tita mau kemana?” tanyaku basa-basi. Padahal sih aku sudah tahu, dia pasti mau datang di seminar itu juga. “Ini, Tita mau jadi pembahas di seminarnya Mas Aal pagi ini, Mba Syahdu ikut yuk?” ajaknya sambil menarik lenganku. “Hmm...sepertinya nggak bisa Ta, ada tugas kuliah yang harus aku selesaikan pagi ini.” jawabku dengan mencoba untuk tersenyum manis padanya. “Owh, ya sudah Mba. Semangat ya!!” Aku mengangguk. Kutatap Tita memasuki ruangan itu. Ya, aku hanya bisa menatapnya, tanpa berani mengikuti langkahnya. Aku menyeka buliran bening yang tiba-tiba saja mengalir deras di pipiku. *** Baca Sambungannya : 1.Setetes Embun di Hati Syahdu Part. I 2.Setetes Embun di Hati Syahdu Part. II PROFIL PENULIS Ulfatul Khadroh, TTL : Kebumen, 7 Maret 1991 Facebook : Ulzahrah Syiefaa Khozin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar