Senin, 15 September 2014

🌈 Pelangi Di Ujung Senja Part 1

Pelangi Di Ujung Senja Part. I Karya Ulzahrah Syiefaa Khozin Pelangi Di Ujung Senja Part. I Karya Ulzahrah Syiefaa Khozin PELANGI DI UJUNG SENJA PART. I Cerpen Karya Ulzahrah Syiefaa Khozin Namanya Stevania Elizabetha Putri, salah seorang pramugari cantik pada sebuah maskapai penerbangan ternama di tanah air. Vania, begitu sapaan akrabnya sehari-hari, dia merupakan sosok gadis metropolis yang digilai banyak kaum lelaki; cantik, langsing, tinggi, putih, mulus, gaul, modis, ngerti trend, atau apalah namanya. Perfect banget ya? Tapi bukan berarti alasanku mencintainya gara-gara itu tadi. Sama sekali bukan!! Justru sebaliknya. Aku sama sekali tidak mengutamakan kecantikan fisiknya, tapi aku suka kepribadiannya. Sejujurnya, cinta itu tidak semerta-merta datang begitu saja. Bahkan, pada hari pertama aku mengenalnya, masih terasa biasa-biasa saja, tak ada getaran layaknya orang yang sedang jatuh cinta pada pandangan pertama. Melihat penampilannya yang cenderung sexy, lihai menggoda mata kaum adam dengan model pakaiannya yang kelewat minim, ditambah balutan make up nya yang kurasa aneh, membuatku meliriknya saja risih. Apalagi sampai menikahinya. Sungguh tak pernah terbayangkan sebelumnya. Ya, dia bukan gadis yang sesuai kriteriaku. Namun, sekali lagi ini tak terlepas dari takdir-Nya. Hingga setelah aku mengenalnya lebih jauh, diam-diam hati yang semula biasa-biasa saja perlahan mulai tumbuh semacam rasa yang sulit untuk kujelaskan. Kini aku mulai mencintainya, benar-benar mencintainya. Ya, begitulah. Cinta memang terkadang begitu misterius. Pertemuanku dengannya berjalan begitu cepat, sungguh tak pernah kuduga sebelumnya. Kala itu aku tengah berada dalam sebuah pesawat yang akan mengantar kepulanganku menuju tanah air, kampung halaman yang selama lima tahun terakhir ini aku tinggalkan, tepatnya sejak keputusanku untuk mengambil study di universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir. Pesawat sudah mulai lepas landas sekitar setengah jam yang lalu, meski aku tak duduk tepat disamping jendela, aku tetap bisa menatap sinar pudar mentari yang timbul-tenggelam dari balik tumpukan awan yang mengapung. Sungguh pemandangan yang sangat menakjubkan. Aku kembali meneruskan buku bacaanku. Namun, ternyata mataku sudah mulai terasa lelah. Alih-alih ingin memejamkan mata sejenak, tiba-tiba saja salah seorang pramugari cantik datang menghampiriku. “Maaf mengganggu istirahat bapak, apakah ini dengan bapak Muhammad Rafi Farhan?” tanyanya ramah sambil mencocokkan nomor kursiku dengan secarik kertas yang dipegangnya. “Iya, saya sendiri. Ada apa ya?” “Kami mendapat laporan dari pihak maskapai, bahwa sewaktu pesawat ini hendak lepas landas, salah seorang petugas keamanan menemukan dompet anda di ruang transit.” Ujarnya sambil menyerahkan sebuah dompet padaku. “Oh ya? Terimakasih.” Ujarku kaget bercampur lega. “Kami mohon maaf tadi sempat membongkar dompet anda untuk mencari identitas pemiliknya.” “Iya, tidak apa-apa.” Ucapku tersenyum. “Hmm... Mas Rafi rupanya tinggal di daerah blok. O, Jalan Permai, Jakarta Pusat ya? Kebetulan rumah saya juga di daerah situ.” Tanyanya malu-malu, mengganti panggilan untukku yang semula “Bapak Rafi” menjadi ”Mas Rafi”. “Benarkah? Tepatnya dimana?” tanyaku pura-pura tertarik. Tapi sekali lagi ini hanya pura-pura, sungguh!! “Perum Indah Permai, blok. L, Jalan Permai, Jakarta Pusat.” Entah apa saja obrolan kami setelah itu, aku tak begitu ingat. Yang jelas, di akhir perkenalan itu, kami sempat bertukar nomor handphone! Nah, setelah itu kami jadi intens berkomunikasi, Vania sepertinya mulai menunjukkan ketertarikannya dengan Islam. Ia sering bertanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dunia Islam. Maklumlah, dia bukan berasal dari keluarga yang tergolong religius, ibunya menjadi seorang mu’alaf sejak menikah dengan ayahnya. Sementara itu, ayahnya pun belum sepenuhnya menjalankan syareat Islam secara utuh, istilahnya hanya Islam KTP saja. Hal itulah yang membuat aku merasa memiliki tanggungjawab untuk membimbingnya pemahaman agama yang lebih dalam. Ada jihad yang besar disitu, menuntun dia untuk lebih dekat pada-Nya. Jika sedang libur dari pekerjaannya, Vania sesekali bertandang kerumahku. Seperti pagi ini, pagi-pagi sekali Vania sudah bertamu. Aku tidak menyadari kedatangannya karena aku sedang serius bertadarus Al-qur’an di teras depan rumah. “Assalamu’alaikum.” Sebuah suara yang amat kukenali menyapa ramah, diikuti sesosok gadis cantik tersenyum menghampiriku. “Waalaikumsalam.” Balasku sambil kuhentikan tadarusku dan menatap dia yang kini berdiri tak jauh di depanku, lalu mempersilahkannya duduk. “Bacalah lagi, aku merasa damai mendengarnya.” Pintanya padaku. “Kau bisa membacanya sendiri.” Ucapku sambil tersenyum. “Aku tidak bisa.” Ucapnya pelan, ia tertunduk. “Mau aku ajari?” imbuhku lagi. “Tentu, dengan senang hati.” Balasnya dengan wajah berseri-seri. “Baiklah, kau bisa belajar kapanpun kau mau, itupun jika kekasihmu tidak keberatan kau belajar denganku.” Ucapku kelepasan. Duhh....Aku jadi kikuk, seharusnya aku tak perlu menyinggung-nyinggung tentang kekasihnya, kecuali bila ia bercerita atas kemauannya sendiri. Sayang, aku sudah terlanjur mengatakannya. Sungguh sangat kusesali. “Oh, andai bisa ku ulang waktu, ingin rasanya kutarik kembali ucapanku itu.” Vania tersenyum mendengar perkataanku. “Aku tak punya kekasih.” Akunya pelan. Setelah itu, tanpa kuminta, muncullah pengakuan darinya bahwa ia sempat berpacaran dengan beberapa laki-laki. Bahkan ada yang sampai hampir menikahinya. Namun sepertinya Tuhan belum mempertemukan ia dengan jodohnya. Vania harus menelan kenyataan pahit bahwa hubungannya harus berakhir sebelum sampai ke jenjang pelaminan. Alasannya macam-macam, mulai dari dihianati sahabatnya sendiri, ditinggal selingkuh, beda prinsip, cowoknya terlalu possessive, sampai lantaran orang tua masing-masing tak kunjung memberi restu. Lalu, entah kenapa ada perasaaan lega dalam hatiku mendengar pengakuan darinya. Seperti ada oase yang mengalirkan hawa sejuk dalam jiwaku. Entah rasa apa itu, aku tak mampu menafsirkannya.... Aku mulai mengajarinya iqro jilid satu, mulai dari memperkenalkan huruf hijaiyyah yang paling dasa hingga yang paling rumit. Vania sangat antusias sehingga dia bisa cepat menangkap apa yang kuajarkan padanya. Semua berjalan lebih dari apa yang ku kira sebelumnya. Disela waktu itu, aku mulai menyinggung tentang sholat dan puasa. Kuberikan ia sebuah mukena dan kupinjami beberapa buku tuntunan sholat dan puasa. Ia merasa gembira sekali atas bantuanku itu. *** “Mas Rafi, dicari seorang cewek tuh!” Kudengar Hanum berkata lugas sambil menatapku setengah jengkel. Alisku berkerut, memandangnya penuh tanya. “Siapa?” “Tak tahu.” Balasnya acuh, sambil berlalu begitu saja di depanku. Aku mencoba bangkit dari meja kerjaku, berjalan menuju lobby kantor. Sesampainya di ruang lobby, mataku sibuk mengamati seluruh isi ruangan, mencari-cari tamuku itu. Lobby masih tampak sepi. Hanya ada beberapa karyawan hilir-mudik dengan berbagai kesibukan mereka. Lalu, kulihat ada seorang gadis cantik berbalut jilbab merah muda berjalan anggun menghampiriku. Dia kini tersenyum ramah didepanku. Aku bahkan hampir tidak mengenalinya kalau saja tidak kudengar suaranya lewat ucapan salam itu. Suara dari sosok yang amat kukenali. Vania!! Dan, aku masih enggan percaya. Vania, seorang pramugari yang biasanya berpakaian sexy dan terbuka disana-sini itu kini telah berubah. Ini merupakan sebuah keajaiban. Beribu syukur kuucapkan pada-Nya yang telah membuka pintu hidayah untuk Vania. “Assalamu’alaikum.” Aku tercengang. Barangkali keterkejutanku terlalu besar sehingga membuatku tak mampu berkata-kata. “Mas Rafi??” “Eh...wa..wa’alaikumsalam.” Balasku gugup, setelah agak lama terdiam. Aku masih berdiri terpaku menatapnya. “Mas, penampilanku agak aneh ya?” ucapnya celingukan. Vania seolah kurang PD dengan penampilan barunya. Jemari tangannya sibuk membenahi letak lipatan jilbabnya. “Tentu saja tidak. Kau justru terlihat lebih cantik seperti ini.” ucapku cepat. Vania tampak tersipu malu mendengar pujianku, ia semakin salah tingkah didepanku. Aku tersenyum simpul. “Mas, dia siapa?” tanya Hanum tiba-tiba sudah menyusulku. Dia melirik Vania sedikit meremehkan. “Dia sahabatku.” “Vania, ini Hanum, putri sulung Om Hilwan, partner kerja ayahku di CV. Cahaya Insani.” Ucapku memperkenalkan Hanum pada Vania. “Vania.” Ucapnya tersenyum ramah sambil mengulurkan tangan. “Hanum.” Balas Hanum dingin, dibumbui seulas senyum nan masam, lalu pergi begitu saja meninggalkan kami. Vania agaknya merasa bahwa kedatangannya tak disukai oleh Hanum. Dengan wajah penuh rasa bersalah, dia berkata lirih padaku. “Sepertinya Hanum tak suka aku datang kesini.” Ucapnya menyesal. “Tak apa-apa, dia hanya belum mengenalmu.” Hiburku pada Vania. “Oh ya, bukankah seharusnya kau bekerja?” tanyaku heran. “Aku sudah memutuskan untuk berhenti dari pekerjaanku sejak seminggu yang lalu.” Akunya pelan. “Mengapa?” imbuhku penasaran. “Karena sekarang aku mengerti bahwa seorang muslimah yang baik itu senantiasa menutup auratnya.” “Lalu bagaimana dengan orang tuamu? Apakah mereka tidak kecewa dengan keputusanmu itu?” “Awalnya mereka sempat menentang keras keputusanku. Tapi setelah ibuku melihatku mendoakan dia setiap usai sholat, beliau menangis dan mengatakan bahwa beliau mendukungku. Kini ibuku sudah mulai belajar sholat, ayahku bahkan memanggil seorang ustadz untuk menjadi guru mengaji dirumah kami. Sekali lagi aku tak kuasa membendung rasa bahagiaku mendengar pengakuannya. Aku tak pernah menyangka sebelumnya bahwa semuanya akan berjalan semulus dan secepat ini. “Aku bermaksud untuk mengembalikan ini.” ucapnya sambil menyodorkan tiga buah buku padaku, buku yang sempat ku pinjamkan padanya beberapa waktu yang lalu. “Itu untukmu.” balasku cepat. “Untukku??” tanyanya setengah tak percaya. “Ya, untukmu, untuk kau pelajari, lagipula dirumahku masih banyak buku-buku seperti itu. Kalau kau mau, aku akan memberi beberapa lagi.” jawabku tangkas serta bersemangat. “Sungguh??” “Iya.” Anggukku tersenyum. Vania tampak berseri-seri. *** Hari demi hari, bulan demi bulan pun berganti, aku mulai menyadari bahwa kini aku benar-benar jatuh cinta padanya. Langkahku pun kian mantap untuk menikahinya. Setelah kutuntaskan istikharahku, aku semakin yakin bahwa Vania lah yang Alloh persiapkan sebagai tulang rusukku. Tak ada yang kebetulan di dunia ini, semua sudah diatur oleh-Nya. Dan, pasti ada alasan kenapa Alloh mempertemukan kami sejak setahun yang lalu, kemudian saling mengenal satu sama lain hingga akhirnya tumbuh rasa cinta dalam hatiku padanya. Semoga aku melangkah atas ridho-Nya. Lalu, disinilah aku sekarang, di lorong yang sama dengan gadis yang telah meracuni pikiranku selama setahun terakhir ini. Namun, saat hendak mengutarakan maksud hatiku, lidah ini terasa kaku. Aku benar-benar gugup. Bagaimana memulainya? Serba salah. Entah terbang kemana seluruh kata-kata yang sudah kurangkai sejak semalam, kata-kata itu seakan ikut terhempas bersama degupan jantungku yang semakin tak terkendali. Aku mulai berbicara pada diriku sendiri untuk menyemangati, 'hadapi dulu ketakutanmu, lalu kumpulkan keberanian setelahnya’, Bismillah! Aku tarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan sambil menghampiri dia yang sedang sibuk dengan buku bacaan dariku. “Vania, sekarang bisa bicara kita sebentar?” tanyaku dalam bahasa yang kacau-balau. “Apa?” tanyanya tak mengerti. Ia menghentikan bacaannya, lalu menatapku. “Menikah, ya ma..maksudku menikah denganku. Bagaimana? Kau mau? Ucapku lagi, meski masih dengan dialog yang sangat buruk, tapi semoga dia paham dengan apa yang aku maksudkan. Tak ada jawaban. Setuju kah? Loh, kok bengong? Jawab dong!! Apakah tawaranku ini terkesan tiba-tiba? Kagetkah ia? Shock? Cecarku dalam hati. Aku tak berani menatapnya. Nyaliku perlahan mulai memudar. Saat ini aku mulai menyesali keputusanku untuk mengutarakan maksud hatiku. Masih tak ada jawaban. Vania tetap terdiam. Duhh... Hatiku sepertinya telah mampu membaca akhir dari pembicaraan ini. Tapi lho? Dia mulai tersenyum melihat kegugupanku, kemudian mengangguk, sambil tersipu malu-malu. Lalu tertunduk. Uh, uh, uh. Akhirnya lega juga. Padahal aku sudah bersiap-siap patah hati mendengar penolakannya. Ternyata gayung pun bersambut. Cintaku berbalas manis. Aku mengembangkan senyum lebar, Hehee... Alhamdulillah, akhirnya...... Baca Sambungannya : 1.Pelangi Di Ujung Senja Part. I 2.Pelangi Di Ujung Senja Part. II PROFIL PENULIS Ulfatul khadroh, TTL : Kebumen, 7 Maret 1991 Facebook : Ulzahrah Syiefaa Khozin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar