Rabu, 04 Desember 2013

TETESAN EMBUN CINTA

Cerpen Abdul Rahman Malik Tahun 2008 dimana aku masih duduk di bangku SD, dan masih meraskan jiwa kekanak-kanakan dan kegemaran bermain, aku tumbuh sebagai anak lelaki yang suatu saat kan jadi harapan keluarga. Karena aku adalah anak laki-laki kedua, dan kakakku kini telah berkeluarga. Maka akupun kelak yang akan diandalkan. Sebetulnya aku yang pendiam, lugu, dan tak punya keberania besar. Tapi keterikatanku dengan dunia masa kecil masih melekat, akupun tetap menyempatkan waktu untuk bermain bersama teman-teman yang akrab. Hanya saja terkadang aku memilih teman yang enak dan bersahabat untuk aku ajak bermain. “Pak, Ilman berangkat sekolah dulu ya, sekalian minta uang jajan buat hari ini….”. Ilman adalah nama panggilanku sehari-hari, nama yang diberikan bapak tujuh tahun yang lalu setelah ibu melahirkanku yang lengkapnya, Maulana izdadna Ilman. “ iya, Man ni uang jajannya, ingat pulang sekolah jangan ngelayab kemana-mana, pulang langsung kerumah!”… jawab bapakku dengan mengulurkan tangan berisi uang seribu lima ratus rupiah. Biasanya yang selalu member uang jajan tiap hari ialah ibu, namun hari ini ibu sudah berangkat ke pasar duluan, jadilah bapak yang jadi gantinya. Karena bapak sendiri selalu ada dirumah jikalau tidak berangkat merantau ke seberang pulau. Sekolahku tak jauh dari rumah, dengan jalan kakipun bisa aku tempuh, cukup lima menit sampai. SD yang dikatakan Negri kedua di desaku. Karena tepat disampingnya ada SD Negeri I yang menghadap kej raya. Walaupun demikian, Dua SD yang berdampingan itu tetap berhubungan baik , baik itu guru-gurunya ataupun murid-muridnya. Sementara, aku kini duduk di kelas 2 SD Negeri 2, Setiap hari aku selalu berangkat gasik walaupun sebenarnya aku masuk kelas dimulai jam setengah sepuluh setelah kelas 1 pulang. Aku merasa dengan demikian aku bisa belajar dahulu di pinggir kantin sekolah bersama Bu endah, sang penjaga kantin. Atau sering juga ketika tidak ada PR, aku malah bermain dengan teman akrabku yang sama selalu berangkat gasik, Rayhan namanya. “ Han, hari ini ada PR gak? Kalau gak ada, yuk kita main kelereng saja! “ ajak aku. Kebetulan murid kelas dua SD Negeri 2 yang baru berangkat hanya aku dan Rayhan. “ Kayanya gak ada man, soalnya kemarin Ibu Tini gak ngasih PR” jawab Reyhan dengan menambahi Ibu Tini yang juga mengajar kelas 2. “ Ya sudah, kita bermain kelereng. Nih, aku punya sepuluh butir, nanti kita bagi dua” Tutur aku sambil meyakinkan. Kita berdua bermain kelereng di halaman tepat di depan kelas satu yang tempatnya di ujung, berdampingan dengan sebelahnya SD Negeri 1. Ditengah asyiknya bermain, terdengar suara obrolan anak-anak perempuan di samping. Ketika aku menengok kearah suara itu, ternyata ada siswi-siswi SD negri 1 sedang asyik ngobrol, sambil tertawa-tawa di kursi panjang depan kelas. Namun, tampak seorang siswi yang berkerudung putih, dengan memakai seragam merah putihnya seolah-olah berbeda dengan teman lainya yang tidak mengenakan kerudung. Akupun sedikit keheranan melihatnya. Pesona kecantikan Siswi SD itu membuat aku bertanya-tanya, siapa dia? Mengapa dia memakai kerudung putih, tidak seperti umumnya anak SD negeri? Tambah dengan merasa kagum akan sikap pendiamnya sambil memegang sebuah buku sedang dibacanya. Sungguh membuat aku ini terpana, seakan melihat putri permaisuri kecil bercanangkan kerudung putih indah dipandang. Setelah berhari-hari aku menyimpan memori bayangan siswi SD Negeri 1 itu, akhirnya akupun tahu sedikit tentang dia. hanya sebatas kenal. Maklum aku akui, karena SD aku masih kecil tentang hal-hal percintaan dan belum pantas. Tapi rasa kagumku padanya akan senantiasa membekas, karena sosoknyalah yang pertama kali mengucurkan teteskan embun kekaguman di hatiku. Nayla namanya, Nayla Muna Awwalina. Aku tau dia dari Reyhan, teman terdekatku. Nayla sebetulnya bukan asli anak desa dimana SD Negeri 1 dan 2 berada, dia berasal dari desa sebelah, dia pergi sekolah tiap hari dengan jalan kaki. Selalu berangkat awal dibanding yang lain. Ternyata, dia juga sama duduk di kelas dua. Karenanya, aku sering menjumpai dia menyempatkan belajar di kursi kecil depan kelasnya sebelum bel berbunyi. Karena berbeda sekolah, akupun tidak bisa bermain dekat dengan dia. Apalagi aku sendiri anak yang pemalu dan jarang bermain dengan anak perempuan. Selama aku masih duduk di bangku SD, perasaan itu hanya tersimpan di benak, tak pernah terletupkan ucapan tentang kekagumanku pada Nayla kepada siapapun, kecuali Reyhan sendiri. Karena ia satu-satunya teman yang selalu mengertikanku. Sampai ia pun sering memberi tahu kabar tentang Nayla yang belum pernah aku ketahui. Reyhan memberitahuku bahwa nayla setiap malam selalu mengaji al qur’an di pondok kecil dekat rumahnya, dan itu berjalan sampai Nayla sekarang kelas 5 SD begitu juga aku. ***** Di awal aku menduduki bangku kelas 5 SD, aku bulatkan tekad untuk ikut mengaji al qur’an ditempat Nayla setiap malam mengaji. Walaupun jauh, tapi ini adalah pengorbananku untuk bisa melihat Nayla setiap hari, pagi hari di Sekolah tapi itu jarang karena sekolah yang berbeda, atau malam harinya di pondok walau tidak dalam satu kelas. Yang penting bisa melihat Nayla walau dari jauh. Aku merasa mondok disana banyak hal baru yang aku jumpai. Pertama, aku harus berangkat setelah shalat maghrib dari rumah dengan mengendarai sepeda, setelah sampai aku dipertemukan dengan asatidz yang galak-galak, Ust. Furqon salah satunya. Setiap kali ada santri yang masih berkeliaran belum masuk ke kelas, Ia siap siaga dengan memegang pentungannya untuk menakut-nakuti. Pada saat-saat itulah, muncul rombongan santriwati yang melenggangkan badan berjalan menuju pondok dari sebelah utara pondok, dengan menenteng tas di bahunya dan kitab-kitab di dekap di dadanya. Tersenyum aku melihatnya, karena dari kerumunan santriwati itu, satu diantaranya ada Nayla. Ya Nayla yang selama ini aku kejar agar bisa selalu memandang wajah sholihahnya, kelembutan sikap kesehariannya dan kealimannya. ***** Setahun kemudian… Aku sudah terbiasa dengan kegiatan dan kebiasaan di Pondok itu dan banyak mendapat pelajaran, walau hanya menghabiskan waktu dari habis maghrib sampai habis sekitar jam setengah sembilan malaman. Aku merasa gembira, aku bisa ikut mengaji disini, walau tujuan awalnya yang salah. Mengaji hanya untuk melihat Nayla. Suatu malam setelah pulang dari pesantren, aku mampir dahulu di pedagang siomay dekat pesantren. Tak ku kira ternyata tepat di sampingku ada Nayla yang juga sedang membeli siomay. Tiba-tiba dia memandangku dengan senyuman manisnya sambil mengucapkan, “assalamu ‘alaikum…. kamu anak desa sebelah kan?” Tanya Nayla sambil memancarkan aura ketulusannya. “wa wa wa ‘alaikum salam….” Aku jawab dengan sedikit kaget dan terbata-bata. “IIIyya,,, neng ” jawaban dari pertanyaannya tadi dengan ucapan neng sebagai tradisi penghormatan kepada gadis perempuan, teman atau yang lebih muda. “Neng namanya Nayla ya…??? Giliranku bertanya. Dia tersenyum sambil manjawab, “ Iya… kok tahu? “, Ujar Nayla dengan suara lirih dan pancaran senyum dari raut wajahnya. “ hhhmm… yang Cuma tau aja”, jawab aku. “ eh iyya… saya pulang duluan ya, sudah di tunggu bapak dan ibu di rumah”. Nayla pun pergi, dan aku perhatikan dia dengan perasaan sangat-sangat bahagia. Seketika aku pandangi ia berjalan. setelah agak jauh, aku terkejut, ternyata Nayla masuk ke rumah Ust. Furqon. Deg.. rasa bahagiaku pun bercampur dengan rasa khawatir dan takut, ternyata aku baru tahu, Nayla Muna Awwalina itu Putri dari Ust. Furqon yang terkenal super galak dan sangar di pondok. Hhhmm,,,Siap aku harus menghadapi singa padang pasir itu untuk bisa bertahan sampai suatu saat aku bisa mendapatkan anaknya. Satu tahun itu merupakan tahun pertama aku mengaji di Pondok secara kalong, bertepatan juga dengan masuknya aku di kelas 6 SD. Aku menikmati jalannya mengaji dan semua suasana di pondok. Sampai tiba akhir tahun. Dimana aku memilih untuk melanjutkan sekolah ke SMP atau MTs. Aku sendiri sudah bulat, ingin masuk SMP agar bisa menguasai pelajaran-pelajaran umum, dan tetap melanjutkan mengaji malam di pondok untuk tambahan pelajaran agama. Rencanaku diterima dan didukung penuh oleh bapak dan ibu, karena menyadari ilmu umum juga perlu, tapi dengan tetap mengutamakan ilmu agama dengan tetap pesantren walau kalong. ***** Setelah aku menjadi siswa SMP, Akhir-akhir ini aku merasa ada yang kurang. Setiap malam aku berangkat mengaji, entah kenapa aku tidak pernah lagi melihat pancaran wajah indah Nayla. Perasaanku tidak enak dan gelisah. Akupun tanya seorang temannya yang dulu selalu bersama Nayla di Pondok. Kaget sungguh kepalang. Sedih hati ini rasanya. Belumlah aku bisa akrab dengannya tapi dia sudah pergi dahulu. Pergi menjauh dariku. Bapaknyalah yang membuatnya pergi, Ust. Furqon. Dia melanjutkan SDnya tidak ke SMP atau MTs terdekat, tapi dia disuruh untuk melanjutkan pesantrennya di Bandung. Dengan keta’dzimannya terhadap bapaknya, diapun mengikuti apa kata bapaknya. Bertahun-tahun aku jauh dari Nayla. Tapi aku tetap berusaha untuk tegar. Seperti biasa aku berangkat pesantren, sepintas aku sering memandangi rumahnya, namun tak juga Nayla ada. Semenjak Nayla pergi ke Bandung, Tak pernah aku jumpai dia walau satu kalipun. Aku hanya bisa berharap, suatu saat jika Allah mentaqdirkan aku bertemu Nayla, aku yakin pasti akan bertemu kembali. Karena aku percaya taqdir Allah seperti yang diajarkan Ustadz Rahmat dalam pengajian tauhid di pondok. Sampai akhirnya akupun selesai Ujian Akhir Nasional, kelas 3 SMP sebentar lagi berakhir. Tinggal aku siapkan rencana berikutnya. Beberapa hari setelah UAN, Malam harinnya akupun berangkat pesantren dengan menggunakan sepeda BMXku ditemani beberapa teman. Malam pertama setelah satu minggu libur untuk persiapan UAN. Malam itu, aku bertemu dan bersalaman dengan Ust. Furqon yang sedang duduk di kursi depan Kantor Pondok. Di kelas, aku bertemu Ust. Rahmat yang biasa mengajariku setiap malam, Dialah wali kelasku. Setelah bubar dari pengajian, rasanya aku ingin membeli somay kesukaanku. Akupun mendatangi pedagang somay tak jauh dari pondok sebelum aku mengambil sepeda ditempat penitipan. Terkejut aku ketika mendengar suara perempuan dari samping kuping kananku. “ Mang, masih ada somaynya? Nayla mau beli lima bungkus....” “masih ada neng,,, ya mang buatin buat tong Ilman dulu ya neng….” Ya Allah,,, akupun terkejut ketika menengok kea rah kanan, begitu juga Nayla menengok ke arah kiri ketika ia mendengar nama ILMAN dari mulut mang somay. “Assalamu ‘alaikum Neng Nayla…? Bagaimana kabarnya? Alhamdulillah bisa bertemu kembali ya neng….” Tanya aku dengan perasaan berbinar-binar dan mata berkaca-kaca ketika memandang Nayla setelah bertahun-tahun tak bertemu, ia tumbuh sungguh lebih cantik dan sangat indah dari dahulu SD. “Wa’alaikum salam…. Alhamdulillah baik kang Ilman….” Jawab Nayla sambil tersenyum manis. Akupun balas senyumannya, apalagi setelah ia jawab dengan kata “kang Ilman”, Panggilan Khas dari Bandung. Dengan berusaha percaya diri, akupun coba keluarkan pertanyaan, “Neng Nayla lagi liburan ya?...kemarin ketika UAN bagaimana? Lancar?...” lidahku mulai bebicara. “Iya kang,,, kemarin Nayla UAN di Bandung Alhamdulillah lancar…” Naylapun menjawab lirih. “Kalau boleh tahu… rencana Nayla setelah lulus mau melanjutkan kemana?...” “hehhhmmm,,, kata bapak sih Nayla suruh melanjutkan pesantren lagi ke Jawa Tengah, ya Nayla ikut apa kata bapak saja”... jawaban simpel Nayla sambil mengambil bungkusan siomay yang sudah jadi sekaligus memberikan uangnya ke mang somay. “eehhh,,, kang Ilman Nayla pulang duluan ya, tidak enak sama bapak dan ibu kalau siomaynya keburu dingin”, sambung Nayla sambil pamit mengucapkan salam, “ Assalamu ‘alaikum… kang” “ iya neng…wa ‘alaikum salam” aku jawab dengan senyum tersampul rasa kegembiraan. Perjalan pulangkupun diliputi taburan rasa bahagia, sampai aku tersenyum-senyum sendiri. layaknya perasaan orang yang sudah lama ditinggal perempuan yang ia cintai, kemudian ia datang bagaikan bidadari turun dari kayangan berkerudungkan sutra putih, kulit yang putih halus bagai susu, senyuman manis lebih manis dari gula serasa, tutur bicaranya seolah butiran-butiran mutiara pelan berjatuhan, sungguh suara jawaban-jawaban dari lisannya seperti tetesan embun pagi menyejukan hati dan jiwa. Tak terbayang begitu bahagianya aku, sampai larut malampun aku tetap membayangkannya. Aku pandangi dia dari tembok kamarku seperti tayangan dalam surga. Terus dan terus bayangannya menari-nari depan kedua bola mataku. Sampai tak terasa akupun tertidur dan jatuh dalam larutan mimpi indah bersamanya. “ Kang Ilman…. Kang…. “ Nayla membangunkanku dalam dunia tidurku. “ aduwh… Nayla, kok bisa ada disini???” “ Iya Kang, Nayla datang buat Kang Ilman…” ujar Nayla dengan menyimpulkan senyum manisnya. “ Hah… Masa? Nayla datang jauh-jauh buat akang” tanyaku dengan penasaran. “ Iya, Kang… Nayla disuruh bapak untuk bertemu akang, dia ridho seandainya suatu saat Nayla jadi pendamping hidup akang…” ucapan Nayla seolah tetesan embun pagi, akupun disejukan olehnya. “ Ya Allah, apa ini benar… sungguh aku bersyukur padamu Ya Allah…” “ kalau begitu akang siap… akang akan berusaha menjadi Imam yang terbaik dalam Hidupmu Nayla,,, kelak dalam rumah tangga kita” Dug..dug…dug…(suara dari pintu kamarku) Man… Man… Baanguunn… siap-siap ambil air wudhu, sholat sama ibu,,, kamu jadi Imam ya Man….. Akupun terperajat, sambil mengusapkan muka dengan kedua tanganku. Wuuuhhhh… ternyata Cuma mimpi. Akupun tersenyum sendiri sambil tetap mengingat-ingat bayangan Nayla. “ Iya Bu… tunggu sebentar…” saut aku dari dalam kamar, dengan berharap ,“Ya Allah semoga apa yang aku tadi impikan bisa menjadi kenyataan”. Lalu akupun bersiap-siap untuk melakukan shalat shubuh. Salama satu minggu ini memang aku selalu jadi Imam shalat bersama Ibuku, karena bapakku dan kakak laki-lakiku sedang melakukan kewajibannya sebagai tulang punggung keluarga. Merantau ke seberang pulau. Ibuku sudah siap di mushola. Setelah akupun siap, Aku berkata kepada ibu, “ Mari Bu, kita shalat berjama’ah, lebih cepat lebih afdhol agar mendapat waktu fadhilahnya shalat” “ ayu nak, baca qur’annya yang tartil dan merdu ya, biar ibu shalatnya bisa lebih khusyuk” tambahi ibu. Begitulah ibu, karena beliau selalu senang ketika dibacakan al qur’an dengan gaya suara merdu seperti di kaset-kaset. Setelah aku dan ibu menjalankan shalat shubuh berjama’ah dengan khidmat, seperti biasa aku dan ibu saling deres al qur’an. Ketika ibu baca aku mendengarkan dan membetulkan bacaan ketika ada yang salah. Begitu juga ibu mendengarkan ketika aku membaca. Ibu sendiri karena sudah usia lanjut, beliau membaca harus dengan kaca matanya. Berbeda dengan aku. Karenanya, ibu terkadang ada bacaan yang salah lihat, akupun langsung membetulkannya. Setelah selesai deres al qur’an bersama, aku sidikit buka bicara. Menanyakan akan mimpiku tadi. “Bu… kalau mimpi itu benar bisa jadi kenyataan nggak sih”, aku mulai bertanya dengan gaya bahasa akrabku kepada ibu. “Man… mimpi itu tidak semua jadi kenyataan, yang jelas mimpi itu hanya bunga tidur, kalau mimpi baik dan benar berarti datang sebagai anugrah dari Allah SWT. Kalau mimpi buruk itu berarti datang dari Syaitan. Ilman sendiri sebelum tidur baca do'a dulu tidak? “ jawab ibu dengan penjelasannya. “Ilman baca do’a Bu… masa sudah lama ngaji di pondok lupa baca do’a sebelum tidur”, ujarku. “ ya memangnya Ilman mimpi apa?” tanya ibu kembali. “hhmm… gimana ya? Sebetulnya ini ada hubungannya dengan perasaan Ilman Bu”, jawabanku simpel. Akhirnya aku ceritakan semua tentang perasaanku kepada Ibu, dari mulai aku SD kelas 2, kemudian tau dengan yang namanya Nayla, lalu akupun ikut mengaji kalongdi pondok hanya agar bisa melihat Nayla. Aku juga ceritakan karakteristik Nayla, segalanya. Sampai pada mimpiku tadi malam. Kemudian Ibu menyimpulkan. “Ya Sudah… Ibu sih mendukung saja, tapi Ilmankan masih kelas 3 SMP, baru saja UAN, pengumuman kelulusan juga belum. Masih lama Man mikirin yang kaya gituan. Nah… Alangkah baiknya, Ilman sekarang jadikan perasaan itu sebagi motivator yang mendorong Ilman untuk terus jadi yang terbaik, baik buat keluarga, agama, bangsa, dan Nayla juga senang kalau seandainya tahu Ilman seperti itu. Sekarang yang Ilman pikirkan, ingin kemana melanjutkan sekolah SMP?”, ibuku memberikan pencerahan diakhiri dengan pertanyaan. Akupun seketika mengiyakan ibu. Dan terpintas kemana aku akan melanjutkan sekolah. “hhhmm… iya ya bu…” Sambil aku memanggut kepala dan berpikir, teringat bayangan Nayla ketika bertemu kemarin malam. “ Bu, bagaimana kalau Ilman ingin mondok ke Jawa Tengah? Ilman ingin memperdalam ilmu agama sambil sekolah disana?”, Inisiatif ini, aku terinspirasi dari Nayla karena dia juga akan melanjutkan ke Jawa Tengah. Walaupun sebenarnya aku tidak tahu apa dan dimana pondok pesantren di Jawa Tengah itu. ****** Santri, Asatidz, dan Kyai, nama-nama itu sudah terbiasa terdengar di telingaku. Kehidupan yang awam kini berubah dengan nuansa islami. Statusku yang dulu dirumah berubah menjadi istilah "santri". Keseharian yang dulupun berubah dengan banyak kegiatan mengaji kepada kyai dan asatidz. Suara adzanpun tak lepas dari kupingku berkumandang setiap lima waktu. Tanda akupun harus mendatangi masjid, untuk shalat berjama’ah sebagai kewajiban santri pesantren. Pesantren yang terletak di Jawa Tengah itu bernuansakan kesejukan. Lokasi yang dekat dengan Gunung Slamet membawa kedinginan setiap malam sampai shubuh tiba. Waktu dua puluh empat jam tiap harinya dihabiskan dengan kegiatan dilingkup pesantren. Sekolah keagamaan yang masyhur dengan MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan) mengisi acara pagi sampai soreku, ditambah pengajian tambahan dari setelah asyar hingga larut malam. Ku rasakan semuanya begitu jauh berbeda dengan apa yang pernah ku jalani sebelumnya ketika di rumah. Namun, semua itu berjalan dengan senyuman. Karena di pesantren itulah, aku dipertemukan dengan sosok penyejuk hatiku, Nayla Muna Awwalina. Akhirnya, aku bisa bersama Nayla dalam satu pondok pesantren. Sungguh kebahagiaan tersendiri bagiku. Hanya saja, kami tidak bisa bertemu dan bertatap muka layaknya pergaulan bebas di rumah, kami terikat oleh pesantren, penjara suci yang dikelilingi pagar yang berduri peraturan. Siapa orangnya berani menerobos pagar duri itu, dia akan terkena akibatnya. Duri itu akan melukai dirinya tanpa pandang bulu siapa orangnya. Tata tertib pesantren membuatku hanya bisa menyaksikan Nayla dari arah yang berjauhan, karena dilarang bagi kaum ajnabi berdekatan dengan bukan mahromnya. Beberapa tahun lamanya di pesantren, semua benak perasaanku aku tanam dalam hatiku, tak berani aku berbuat yang bisa berakibat fatal bagi masa depanku. Sekali berbuat kesalahan ta'ziranpun akan datang menghantam. Entah dalam bentuk apa, aku tak mau terkena ta'ziran sekecil apapun. Aku hanya ingat pesan ibuku, “ jadikan perasaan cinta kepada seseorang itu sebagi motivator yang mendorong untuk terus jadi yang terbaik”. Dari situlah, aku bertekad, walaupun perasaanku kepada Nayla ini tersimpan dalam bathinku, aku akan buktikan, aku harus jadi yang terbaik. Setidaknya dengan demikian Nayla akan merasa kagum padaku. Dengan modal kemampuan pas-pasan, hanya lulusan SMP, akupun bejuang mati-matian agar dapatkan apa yang aku inginkan. Porsi belajarku aku tambahkan full sampai larut malam. Setiap setelah pelajaran aku rutinkan muroja’ah. Materi agama dan umum aku kuasai semua. Bahasa Arab dan Bahasa Inggris aku pelajari dan selalu aku praktekan. Semua jerih payah aku kerahkan, dengan niat aku ingin bisa jadi yang terbaik, orang tuaku kan senang. Dan yang utama Naylapun akan mengetahui siapa aku. ***** Setelah lima semester kulalui, namaku selalu terpampang di barisan rangking kesatu, kedua atau ketiga. Karena sulitnya pesaingan di kelas, aku tidak bisa konsisten di peringkat kesatu, tapi aku bersyukur karena rangking satuku tetap mendominasi. Setiap akhir semester pengumuman peringkat kelas selalu diumumkan dan dipampangkan. Akupun yakin Nayla pasti melihat hasil dari jerih payahku. Suatu pagi, bertepatan dengan setelah pengumuman semester pertama kelas 3, ketika berangkat sekolah, aku tak sengaja bertemu papasan dengan Nayla di tangga lantai dua sebelum masuk ke kelas. Tak ku sangka, Nayla tersenyum sambil mengucapkan beberapa patah kata, “Selamat ya Kang Ilman, atas prestasi yang diraih selama di MAK….!!!” Suara itu layaknya butiran-butiran mutiara berjatuhan dari lisan Nayla membuatku terlena kepayang. Dengan senyum pula akupun menjawab, ”terima kasih neng, mungkin itu juga berkat do’a dan dukungan neng dari belakang, ”…. aku balas dengan sedikit kata-kata so-PD, yang aku yakin itu ada benarnya. “Nayla ke kelas duluan kang… tidak enak kalau kelihatan orang lain”, ujar Nayla dengan mata malu. “ Iya Neng, sekali lagi makasih”, saut aku membalas sebelum Nayla pergi. “ Iya Kang”… Ia pergi dengan agak dicepat-cepatkan jalanya sambil tersenyum-senyum. Akupun bergoyang-goyang bahagia, apa yang aku upayakan ternyata terbukti Naylapun menaruh rasa kagum padaku, aku terlena dengan keceriaan pagi hari itu. Setelah semester satu kelas 3 berakhir, tinggal tancap gas terakhir untuk menuntaskan jenjang sekolah di MAK. Ujian Nasional SLTA diambang mata sekitar tiga bulan kedepan. Aku tidak bisa tinggal diam. Tidak bisa aku terlena dengan hasil baik prestasiku sebelumnya. Semua harus aku selesaikan dengan baik, dan di akhir akupun harus bisa khusnul khotimah, baik di sekolah atau juga di pesantren. Apalagi aku merasa iri kepada kakak kelas yang dahulu telah lulus, lalu bisa melanjutkan ke Universitas Negeri bahkan ke Universitas di Timur Tengah. Dari situ, aku juga berharap mudah-mudahan UAN nanti bisa berhasil dan bisa mengantarkanku ke Universitas di Timur Tengah. Walau belum terbayang dari dahulu untuk kuliah di Timur Tengah, tapi setelah aku mendapat banyak pelajaran dan kajian agama, aku mulai mengerti. Ilmu agama berasal itu dari Negri-negri Timur Tengah, khususnya Jazirah Arab, sudah pasti ketika aku belajar disana berarti aku seolah meminum air dari sumber mata airnya. ****** Beberapa bulan kemudian, Aku dinyatakan lulus UAN dengan predikat Amat Baik. Disamping itu pula, aku mendapat pengumuman kelulusan beasiswa timur tengah. Sesuai dengan target, apa yang aku rencanakan berhasil. Kedua pengumuman itu aku terima dengan rasa bahagia, bangga dan puas. Karena jerih payahku selama di pesantren terbalaskan dengan prestasi baik. Kedua orang tuakupun takjub. Tidak percaya aku bisa seperti itu, padahal aku lulusan SMP, tapi bisa bersaing dengan teman-teman lain yang latar belakang keagamaannya lebih baik. Aku tersenyum saja,,, karena dibalik itu semua, aku termotivasi oleh sosok Nayla yang senantiasa menjadi penyemangat hidupku, gelora wajahnya selalu terpancar dalam bayanganku layaknya tetesan embun yang membasahi dedaunan di setiap pagi. Akulah si dedaunan yang beruntung itu, karena setiap aku ingat kepadanya, aku bangkit untuk berusaha menjadi yang terbaik walaupun banyak yang lebih baik dariku. Setidaknya, aku bisa dilihat baik di mata Nayla. Entah tetesan embun cinta apa yang telah merasuki tubuh ini, sehingga aku selalu merasa sejuk ketika ia hadir dalam bayanganku. ***** Suatu ketika dimana aku di hadapkan dengan masa depanku. Aku merasa kebahagiaan ini terkikis oleh masa. Aku terpikir sejenak, akhirnya aku sadar. Aku telah salah dalam melangkah. Semua yang aku lakukan untuk agama aku lakukan dengan niatan yang salah. Bermula dari aku pesantren kalong di kampung hingga kini aku berhasil mencapai yang aku citakan. Semuanya karena Nayla, seorang perempuan biasa, yang hanya diberi kelebihan oleh Allah SWT hingga bisa menghipnotis hatiku sehingga terpedaya. Aku berjuang pesantren malam hanya untuk melihat Nayla. Aku tekadkan pesantren di Jawa Tengah hanya untuk bisa hidup lebih dekat dengan Nayla. Aku berusaha meraih prestasi terbaik hanya agar mendapat perhatian Nayla. Semua itu salah… aku tidak niatkan semua itu untuk kebaikan semata-mata karena Allah. Tapi malah karena seorang perempuan. Karena itulah aku merasa rasa bahagiaku tidak seperti hakikat kebahagiaan. Dalam shalat istikharahku, Aku merasa bersalah Allah SWT, menggantikan kedudukan-Nya dalam niat baikku. Setelah aku bertafakkur, rasanya hati ini menuntunku tuk coba melupakan Nayla, aku tidak ingin selamanya berada dalam jalan yang salah. Karena semata-mata untuk Nayla. Walau aku yakini bahwa memang melalui Nayla lah Allah memberiku jalan kebaikan. Berkat tetesan embun cinta Nayla membuatku terangkat untuk mengikuti jalan baiknya. Sebelum aku meninggalkan tanah air, aku bulatkan membuka lembaran hidup baru kehidupan baru, dengan tidak menggantungkan diri pada Nayla, tapi hanya pada Allah SWT semata. Dan aku yaqin, kalau seandainya memang Nayla adalah jodohku, Allah SWT tak kan menjauhkannya dariku, aku pasti dipertemukan kembali. Keikhlasanku terpancar karena aku yaqini Taqdi Allah SWT yang senantiasa bersama orang-orang yang sabar. Memasrahkan segala urusannya kepada-Nya. Dan hakikat cinta sebenarnya hanyalah kepada Allah SWT. Kini Bersama alamku yang baru, di negri yang baru, tempat cita-citaku tercapai. Negri Timur Tengah. Yaman. Aku tutupkan lembaran hidupku bersama Nayla, yang suatu saat akan ku buka seandainya Allah SWT mengizinkanku untuk membukanya kembali. PROFIL PENULIS Assalamu 'alaikum. wr. wb. Saya bernama Abdul Rahman Malik (21 th), sekarang sedang menjalani kuliah di Al Ahgaff University of Yemen. dilahirkan disebuah kabupaten di kawasan Pasundan pada hari rabu, 12 Februari 1991. Riwayat Pendidikan berawal dari SD Negeri 1 Leuwimunding - Majalengka, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 1 Leuwimunding, lalu berhijrah ke dunia pesantren di PP. Al Hikmah 2, Bumiayu - Jawa Tengan, sambil sekolah di MAK Al Hikmah 2. dan kini Allah swt memberikan taufiq-Nya sehingga saya bisa menimba ilmu di Negeri Saba, Yaman.
CINTAKU BERLABUH DI MESIR Karya Irna Octarina Narina masih saja sibuk dengan komputernya, ia tengah melengkapi data-data yang harus ia bawa ke Mesir. Pikirannya masih kacau balau, ibunya bersikukuh untuk tidak mengijinkannya pergi ke Mesir. Ditengah kesibukannya, Ibu Nafisah memanggil anaknya, “Narina ayo keluar dari kamarmu, sekarang sudah waktunya makan siang. Sudah sejak tadi pagi kau tidak keluar kamar.” Dengan setengah berlari ia pun keluar kamar, jilbabnya yang anggun membuat ia terlihat lebih cantik, “Ia bu, tunggu sebentar.” Ia segera duduk dan bersiap untuk makan, sebelum makan ia mencuci tangannya terlebih dahulu. “Ayah mana bu? Kok dia gak makan bareng kita?” “Ayahmu sedang keluar sebentar, ngga lama lagi ayahmu juga pulang nak.” “ Oh ya bu, rencananya minggu depan aku akan berangkat ke Mesir. Semua data-data yang aku butuhkan sudah hampir selesai… Belum selesai bicara, ibunya langsung memotong ucapan anaknya, “ Sudah berapa kali ibu bilang, ibu tak akan pernah mengijinkan kamu untuk pergi ke Mesir. Buat apa sih nak kamu kuliah jauh-jauh disana? Di Jakarta kan juga banyak Universitas Islam yang bagus,” “Tapi bu kesempatan untuk kuliah disana hanya sekali,” tanpa sadar air matanya pun menetes. Memang berat bila ia harus berpisah dengan ibunya, terlebih lagi ia akan berada di Mesir selama kurang lebih empat tahun dan belum tentu ia dapat pulang setiap tahun untuk menemui ibunya. Kepergiannya ke Mesir untuk melanjutkan pendidikannya, ia mendapatkan beasiswa di Al Azhar University Cairo. Sejak kecil ia selalu bermimpi untuk pergi ke Mesir dan melihat betapa indahnya Sungai Nil, dan impiannya kini sudah ada di depan mata. “Tolong ijinkan aku bu, aku hanya beberapa tahun saja disana, aku akan selalu memberi kabar pada ibu. Aku tak akan pernah lupa pada ibu yang sangat aku sayangi,” “Apapun alasanmu tetap saja ibu tak rela bila harus hidup sendirian tanpamu nak, ibu sangat menyayangimu. Ibu tak ingin kehilangan anak semata wayang ibu, huhuhu (ibunya pun ikut menangis). Ayahnya pun masuk segera masuk ke dalam rumah ketika ia mendengar suara tangisan yang terdengar dari teras rumah. “Kenapa kalian berdua menangis?” Tanya sang ayah kebingungan. “Ibu tetap tidak mengijinkanku untuk berangkat ke Mesir ayah, aku sudah tidak tau harus bagaimana lagi.” “Sudahlah bu biarkan anakmu memilih jalan hidupnya, ia sudah dewasa dan ayah yakin kalau ia bisa menjaga dirinya baik-baik.” “Iya bu, benar apa kata ayah. Aku yakin bisa menjaga diri disana, di Mesir aku juga tidak sendiri. Aku ditemani Hikami dan Amalia, mereka juga kuliah disana,” “Huh yasudahlah terserah kalian … tapi jika terjadi apa-apa pada Narina, ayah yang akan ibu salahkan.” Akhirnya Ibu Nafisah mengijinkan kepergian anaknya ke Mesir. Memang berat melepaskan anak semata wayangnya untuk hidup mandiri di Mesir. Ia sangat menyayangi Narina dan kemana saja Narina pergi selalu ditemani ibunya. Wajah mereka pun sangat mirip, bahkan terkadang ada orang yang mengira bahwa mereka adalah kakak beradik. Perbedaan umur diantara mereka juga tidak berbeda jauh, ibunya baru berusia 37 tahun dan anaknya 20 tahun lebih muda dari usianya kini. *** Tibalah hari yang ia tunggu-tunggu, hari ini adalah hari keberangkatannya ke Mesir. Ia memasukkan semua perlengkapan pribadinya ke dalam koper birunya. Tak lupa ia membawa Novel Ketika Cinta Bertasbih 1 & 2 karangan Habiburrahman El Shirazy, ia sangat menyukai novel itu. Baginya begitu banyak ilmu yang ia dapatkan dari novel itu. Setelah selesai menyiapkan perlengkapannya, ia langsung mengambil air wudhu untuk Salat Dhuha. Ia masih punya waktu setengah jam lagi sebelum berangkat ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Sebelum berangkat ia menyempatkan diri untuk menelpon kedua temannya, Hikami dan Amalia, ia ingin memastikan bahwa kedua temannya sudah siap untuk berangkat ke Mesir. Setelah itu tak lupa ia berpamitan kepada kedua orang tuanya, Narina pun berangkat, tak lupa ia mencium tangan kedua orang tuanya. Baru beberapa langkah berjalan, ia lalu memalingkan tubuhnya dan kembali untuk memeluk ibunya. Tak terasa air matanya mengalir membasahi jilbab biru mudanya, ia begitu sedih harus berpisah untuk sementara waktu dengan ibunya tapi di sisi lain ia juga tak bisa menyia-nyiakan kesempatan untuk kuliah di Mesir. Sudah lima jam ia berada di dalam pesawat, perjalannya masih sekitar tujuh jam lagi tetapi ia belum bisa tertidur. Padahal Amalia sudah tertidur pulas, sedangkan Hikami masih saja fokus dengan bukunya. Anak yang satu ini memang suka sekali membaca buku, baginya waktu terasa hambar bila ia tak membaca buku. Narina lalu memutuskan untuk memasang headset dan memutar sebuah lagu favoritnya, Bertuturlah cinta Mengucap satu nama Seindah goresan sabdamu dalam kitabku Cinta yang bertasbih Mengutus hati ini Kusandarkan hidup dan matiku padamu Bisikkan doaku dalam butiran tasbih Kupanjatkan pintaku padamu Maha Cinta Sudah diubun-ubun cinta mengusik resah Tak bisa kupaksa walau hatiku menjerit Ketika cinta bertasbih nadiku berdenyut merdu Kembang kempis dadaku merangkai butir cinta Garis tangan tergambar tak bisa aku menentang Sujud syukur pada-Mu atas segala cinta Akhirnya ia pun tertidur dalam bait-bait lagu Ketika Cinta Bertasbih, sejurus kemudian ia sudah tiba di Mesir. Hikami membangunkan kedua temannya, sejak tadi pagi Hikami belum memejamkan mata sehingga wajahnya terlihat agak pucat. Mereka pun segera turun dari pesawat dan menuju rumah yang telah disewa oleh Amalia. Kebetulan salah satu kerabat dari Amalia ada yang tinggal di Mesir dan rumah itu sudah tidak ditempati lagi. Wajah Narina tampak begitu bahagia ketika menapakkan kakinya di Mesir, ia seolah tak percaya. Setelah tiba di rumah, tak lupa Narina memberi kabar pada orang tuanya di Indonesia. Mereka bertiga langsung membersihkan rumah dan beristirahat sejenak untuk melepas lelah. Ada dua kamar, satu kamar untuk Narina dan yang satunya lagi untuk Hikami dan Amalia. Mereka begitu kelelahan, tetapi Narina memutuskan keluar sebentar untuk mencari makanan. Narina melihat pemandangan di sekelilingnya, begitu banyak wanita bercadar disana. Lalu ia berhenti sejenak ketika ada rumah makan yang menjual makanan asli Indonesia. Ia memperhatikan semua menu yang tersedia, tampaknya ia agak sedikit bingung harus memesan apa. Akhirnya ia memutuskan untuk membeli 3 bungkus nasi, rendang, sayur nangka, dan es teh. Semuanya dibungkus untuk ia makan bersama kedua temannya. Saat ia ingin keluar, ia hampir bertabrakan dengan seorang lelaki yang sepertinya orang Indonesia juga. “Maaf maaf, saya sedang terburu-buru.” Ujar lelaki itu dengan nafas yang terengah-engah. “Iya ngga apa-apa”, sepintas ia terpesona oleh lelaki itu. Wajahnya yang terlihat lelah seperti orang yang tidak tidur semalaman tapi aura yang dipancarkannya begitu memikat bagi siapapun yang melihatnya. Ternyata kedua temannya sudah bangun dan tengah menonton tv di rumah. “Assalamualaikum,” “Waalaikumsalam,” jawab kedua temannya hampir bersamaan. “Dari mana kamu Na?” “Ini aku beli makanan, aku tau pasti kalian laper banget,’’ tanpa disuruh Amalia langsung mengambil piring dan gelas. Ia sudah tidak bisa lagi menahan rasa laparnya. Dan lusa adalah hari pertama mereka kuliah, kebetulan Amalia mengambil jurusan yang sama dengan Narina, yakni jurusan Sejarah dan Peradaban Islam sedangkan Hikami mengambil jurusan Perbandingan Agama. “Ternyata Al-Azhar gede benget ya, duh ga nyesel deh kuliah disini. Meskipun aku ga dapet beasiswa seperti kalian, tapi aku seneng bisa satu universitas sama kalian.” Kata Amalia. Kebetulan Narina tidak sekelas dengan Amalia, maka ia mencari kelasnya sendiri. Saat ia sedang kebingungan mencari kelasnya, lalu ada seorang lelaki yang menghampirinya, “Lagi bingung nyari kelas ya? Tanya lelaki itu, Seketika itu juga Narina kaget bukan kepalang, ternyata lelaki yang waktu itu pernah membuatnya terpesona kini ada di hadapannya. Dengan sedikit gugup ia menjawab pertanyaan lelaki tadi, “Ia, dan saya mahasiswa baru disini,” Lalu mereka saling berkenalan, lelaki itu bernama Andi Hanif Rahman. Ternyata Andi juga kuliah di Al-Azhar dan berada dalam jurusan yang sama, tetapi Andi satu tingkat diatas Narina. Ada sedikit rasa senang di hatinya saat ia tau siapa nama lelaki itu, ia merasa apakah ia sedang jatuh cinta atau tidak. *** Hari berganti hari, minggu berganti minggu, dan bulan berganti bulan. Tak terasa ia sudah tiga tahun di Mesir, rasanya sudah begitu lama ia tak bertemu dengan ibunya. Rasa rindunya sudah tak tertahankan lagi, terkadang ia menangis dalam sujudnya di malam hari. Pemandangan sungai nil yang begitu indah, membuatnya semakin sedih. Seandainya saja saat ini ada sang ibu yang menemaninya, pasti kebahagiaannya di Mesir akan lengkap sudah. Butir demi butir air matanya menetes, hembusan angin merasuk ke dalam tubuh dan jiwanya. Tanpa sadar ternyata ada seorang lelaki yang berdiri di sampingnya, ia pun segera mengusap air matanya dengan tisu yang ada di sakunya. “Kuperhatikan sejak tadi, mengapa kau menangis? Sepertinya kau sedang memikirkan sesuatu,” Tanya Andi. Dengan suara serak ia pun membuka suara,”Aku rindu pada ibuku, sudah 3 tahun aku tak bertemu dengannya, oh ya kenapa ka Andi bisa ada disini?” ‘’Hehe sebenarnya aku mengikutimu sejak kau pulang kuliah, kelihatannya kau sangat sedih dan begitu terburu-buru,” “Ah, mana mungkin kakak ngikutin aku. Hehe kakak ini ada-ada aja,” akhirnya ia pun sudah mulai bisa tersenyum. “Kakak masih inget ngga waktu kita ketemu di rumah makan? Tepatnya tiga tahun yang lalu,” “Ya iyalah, kakak inget banget malah. Kakak kan suka sama kamu sejak kita ketemu waktu itu…” Wajah Narina terlihat memerah, sepertinya ia malu dan tidak tau harus berkata apa. Mereka diam sejenak, tak ada yang berani untuk membuka suara. Narina malah pulang ke rumahnya, Andi hendak mengejarnya tapi ia tak punya keberanian. Sebenarnya Andi tak berniat untuk mengatakan itu pada Narina, tapi kata-kata itu keluar seketika dari mulutnya. Ia memang jatuh hati pada Narina sejak pertama kali ia bertemu. Waktu itu ia hampir telat untuk masuk kerja jadi ia terburu-buru dan hampir menabrak Narina. Sejak saat itu ia penasaran dengan sosok gadis itu, sampai akhirnya ia bertemu lagi dengan Narina di Universitas Al-Azhar. Ia semakin sering memperhatikan Narina saat gadis itu berada di kampus, tetapi Narina tak pernah menyadarinya. Baginya, Narina adalah sosok yang sederhana, lemah lembut dan ia bagaikan bunga yang bermekaran di musim semi. Narina cukup terkenal di kampusnya, ia adalah mahasiswi yang cerdas. Ia pun aktif dalam kegiatan-kegiatan kampus. Setibanya di rumah, Narina langsung masuk ke dalam kamarnya dan menangis hingga sesenggukan. Kedua temannya langsung menghampiri Narina, lalu Narina menceritakan apa yang ia alami hari ini kepada kedua temannya. Termasuk awal mula pertemuannya dengan Andi dan perasaan yang ia pendam pada Andi. “Ya ampun Narina, kenapa kamu gak bilang ke Andi kalo kamu juga suka sama dia? Jelas-jelas kalian kan saling cinta,” tutur Lia, “Tapi aku ga mau kalo kak Andi suka sama aku,” Hikami dan Amalia langsung saling berpandangan, mereka bingung mengapa Narina bersikap seperti itu.” Aku itu ga mau kalo nantinya aku malah pacaran sama kak Andi, aku takut kalo kuliah aku jadi terganggu. Disini aku tinggal satu tahun lagi, aku pengen pulang ke Indonesia dengan gelar sarjana terbaik jadi aku gak pengen ngerusak impian aku itu dengan pacaran,” ungkap Narina. Dengan spontannya, Lia langsung megeluarkan idenya, “ Emm gimana kalo kamu nikah aja? Kak Andi juga udah lulus, kan ga ada larangan menikah buat mahasiswa.” Saran dari Lia hanya membuatnya semakin bingung, akhirnya ia memutuskan untuk menjauhi Andi selama beberapa waktu. Ia butuh waktu untuk memikirkan masa depannya itu. *** Sudah hampir sepuluh bulan Narina tidak bertemu dengan Andi, ada rasa rindu yang terbersit dalam hatinya tapi ia memilih untuk menahan rasa rindunya itu. Padahal Andi selalu berusaha untuk menemuinya, tapi ia selalu menolak. Ada saja alasan yang dibuat oleh Narina, padahal Andi telah membulatkan tekadnya untuk melamar Narina. Dan sepuluh bulan setelah kelulusannya, usaha yang Andi rintis semakin maju. Setelah menyelesaikan kuliahnya, ia mencoba bisnis berbagai macam pakaian muslim secara online dan omset yang ia dapatkan sangat memuaskan. Mungkin cukup untuk biaya pernikahannya kelak, tapi belum ada jodoh yang tepat untuknya. Padahal banyak gadis yang menyukainya tapi entah mengapa ia selalu menolaknya. Hanya Narina yang selalu ada di pikirannya, ia yakin suatu saat nanti ia bisa mempersunting gadis pujaannya itu. Ia bertekad untuk selalu menunggu Narina, sampai gadis itu mau menerima ia sebagai suaminya. Tak terasa, hari kelulusan itu telah tiba dan Narina dinobatkan sebagai mahasiswa terbaik di kampusnya. Betapa bahagia dan terharunya dia, ia pun tak sabar untuk kembali ke tanah air dan bertemu dengan kedua orang tuanya. Ia pun memutuskan untuk segera pulang ke Indonesia bersama Amalia. Sementara Hikami memilih untuk melanjutkan S2 nya, meskipun ada sedikit rasa sedih karena ia harus berpisah dengan kedua temannya tapi ia mencoba untuk tetap tegar karena ia memang bercita-cita untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Narina pun pulang tanpa sempat memberi kabar kepada Andi, karena ia sudah terburu-buru. Dua belas jam di pesawat, membuatnya kelelahan. Tapi setibanya di rumah, seolah rasa lelah itu hilang sudah. Ia langsung memeluk kedua orang tuanya dan menangis di pundak ibunya. Mereka saling melepas rindu, lalu sang ibu bertanya pada Narina, “Ibu bangga sama kamu nak, kamu bisa memberikan yang terbaik. Lalu bagaimana dengan jodohmu nak, apakah kau sudah menemukan jodoh yang tepat di Mesir?” Seketika itu juga Narina merasa seolah tubuhnya bak tersiram air panas, ia teringat dengan Andi. Ia tidak sempat menemui Andi, bagaimana nasib andi sekarang, semua itu hanya terbenak dalam pikirannya. “Ditanya ko malah diem?”, ucap ibunya. Ia mulai membuka suara, dengan terbata-bata ia menceritakan pada ibunya bahwa ia sudah menemukan lelaki yang ia dambakan tapi ia malah menjauhinya. “Yasudah nak gak apa-apa, kalo jodoh gak akan kemana,” Lalu ia masuk kedalam kamar, ia masih memikirkan Andi. Bagaimana Andi sekarang, sudah hampir setahun ia menjauhi Andi. Apakah Andi masih menyukainya, *** Ibu Nafisah ingin sekali ke Mesir, maka sang Ayah mengajak istri dan anaknya untuk berlibur di Mesir selama beberapa pekan. Di sisi lain, Andi masih terus mencari Narina. Setelah Narina lulus, ia tak pernah memberi kabar pada Andi tapi tetap saja Andi setia menunggu Narina. Saat Narina hendak berkunjung ke rumah Hikami, ia bertemu dengan Andi. Ingin rasanya ia memeluk Andi untuk menghilangkan rasa rindunya selama ini tapi ia tak bisa. Mereka berdua menangis dan saling bertatapan, Andi tak menyangka penantiannya selama ini membuahkan hasil. “Narina aku sangat menyayangimu, selama ini aku selalu menunggumu tapi kau tak pernah ada kabar. Aku tak ingin bila harus kehilanganmu lagi, maka maukah kau menikah denganku?” Narina pun tak bisa menjawab, ia merasa sangat terharu. Inilah saat-saat yang selalu ia tunggu. “Huhuhu aku juga sayang sama kakak, kalau begitu temui orang tuaku dan nikahi aku.” “Baiklah kalau begitu, akan kusuruh teman-temanku untuk memanggil penghulu dan surat-surat pernikahan akan diurus secepatnya,” Sesampainya di hotel, Andi langsung meminta ijin pada orang tua Narina untuk menikahi anaknya nanti malam ba’da Isya dan orang tua Narina menyetujuinya. Setelah azan isya berkumandang, semua teman-teman Narina dan Andi yang berada di Mesir ikut datang untuk menyaksikan prosesi akad nikah mereka. Narina terlihat begitu cantik dengan pakaiannya yang serba putih, Andi juga terlihat tampan. Akad nikah mereka cukup sederhana. Narina begitu bahagia, kini ia telah menemukan cinta sejatinya. Ia pun sempat meneteskan air mata saat Andi berkata,” Saya terima nikah dan kawinnya Narina Najmatunnisa binti Husein dengan seperangkat alat solat dibayar tunai.” Semua hadirin pun turut berbahagia, akhirnya cinta Narina Najmatunnisa dan Andi Hanif Rahman berlabuh di Mesir. PROFIL PENULIS Nama : Irna Octarina TTL : Tangerang, 23 Oktober 1994 Alamat : Ciledug, Tangerang Hobi : mengumpulkan artikel tentang Mesir, membaca cerpen Alamat fb : narinamesir@yahoo.com DMCA Protection on: http://www.lokerseni.web.id/2012/11/cerpen-cinta-islami-cintaku-berlabuh-di.html#ixzz2mW9hPvC1