Minggu, 14 September 2014

Aku dan Sajadah Merahku Part. II - Cerpen Cinta Remaja Aku dan Sajadah Merahku Part. II - Cerpen Cinta Remaja AKU DAN SAJADAH MERAHKU PART. II Cerpen Karya Ulzahrah Syiefaa Khozin Aku tahu mungkin ucapan itu lebih pantas jika kutujukan untuk diriku sendiri, bukan untuk Sovia. Sovia masih memelukku erat, seolah ingin memberi kekuatan padaku. Aku menangis, entah air mata ini untuk Sovia atas kepeduliannya terhadapku ataukah justru untuk penghianatan Mas Adil terhadapku? Entahlah... Dalam kepedihanku, kenanganku kembali teringat tatkala Mas Adil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studinya di bidang seni arsitektur di Iran, selepas kelulusannya. Memang dari dulu ia suka membuat desain-desain bangunan yang bercita rasa seni yang tinggi. Berkat hobinya itu, puluhan penghargaan berhasil ia raih hingga akhirnya takdir membawa mimpinya untuk menimba ilmu di negeri yang kaya akan keindahan arsitekturnya. Sungguh prestasi yang sangat membanggakan. Awalnya terasa berat bagiku berpisah dengannya, namun demi cita-cita yang ia impi-impikan, tak apalah aku akan senantiasa mendukungnya. “Semoga di tempat baru, Alloh senantiasa melindungi setiap langkahnya.” ucapku dalam doaku. Ditahun pertama ia berada disana, ia sering menelfonku. Katanya ia masih belum begitu betah disana. Iklim disana ternyata masih enggan bersahabat dengannya, membuatnya sering sakit-sakitan. Selain itu ia masih belum terbiasa dengan makanan-makanan ala disana. Ia rindu Indonesia, rindu makanannya, rindu hiruk pikuknya, dan terlebih lagi ia mengatakan bahwa ia rindu padaku. Duhh... Kusarankan padanya untuk menyibukkan diri dengan aktivitas disana agar ia tak lagi merasa kesepian. Ternyata nasehatku benar, ditahun kedua ia mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya. Ia bahkan sering mengadakan berbagai kegiatan sosial bersama mahasiswa-mahasiswi Indonesia yang sama-sama menempuh studi di Iran. Syukurlah, hatiku lega sekali mendengarnya. Lalu, ditahun ketiga ia benar-benar sudah kerasan tinggal ditempat barunya. Dengan suka-cita, ia bercerita tentang aktivitas yang sering ia geluti disana. Mengamati aktivitas penjual aneka kerajinan tangan di pasar Qeysarieh, sebuah pasar tradisional di kawasan Meydan Emam di kota Isfahan (Meydan Emam merupakan alun-alun terbesar kedua di dunia setelah Mao Zedong Square Tiananmen di Beijing), tertawa lepas sambil menikmati siraman air mancur yang berjajar memanjang di sisi Meydan Emam, menikmati senja sambil memotret kemegahan Masjid Emam, Masjid Syekh Lotfollah, serta Istana Ali Qapu dari kejauhan. Sungguh cerita yang tak pernah bosan kudengar, karena itu cuma alasan untuk berlama-lama mendengar suaranya! Tapi, entah kenapa, dua tahun terakhir setelah itu, dia jarang memberi kabar. Mungkin dia sedang sibuk, pikirku dalam hati. Lagi pula aku juga harus fokus pada kuliahku di semester akhir di salah satu perguruan tinggi di kota Semarang. Sekali lagi aku hanya bisa pasrah dan berdoa agar Alloh senantiasa mempermudah segala urusannya, dan diberi yang terbaik segala yang ia cita-citakan. Begitulah doa yang tak henti kupanjatkan untuknya. Dalam hati tetap tersemai harapan, semoga pertemuan selanjutnya kutemukan dia seperti yang dulu, kemudian menikah dan membangun keluarga sakinah mawaddah dan warahmah seperti yang kami impi-impikan. Namun, semuanya telah berlalu, tinggal impian yang kini perlahan mulai aku kubur dalam-dalam. Sampai hari ini aku datang berbagi doa pada hari bahagianya, semoga ia bahagia. Aku melangkah lunglai larut bersama lautan tamu undangan yang tengah berdesakan menuju singgasananya. Ketika aku sudah berdiri tepat dihadapannya, ada perasaan sedih bercampur nestapa saaat bibir ini mengucapkan kata selamat serta mendoakan kebahagiaannya. Dengan hati hancur kuberikan senyumku yang termanis untuk dia yang hatinya tengah berbunga-bunga. Kuberikan kadoku padanya. Dia menerima bungkusan kado dariku sambil menatapku dengan tatapan penuh rasa bersalah, “Semoga kau segera menyusulku, Rima.” Ucapnya pelan. Aku mengamini kuat-kuat doanya dengan mata berkaca-kaca. Semoga doa tulus darinya sanggup memupuk keyakinan dalam diriku bahwa kelak kutemukan bahagiaku meski tanpanya disisiku. Untuk selanjutnya, kuseret langkahku menuju gadis yang tengah berdiri anggun disebelahnya. Ia menyalamiku sambil tersenyum ramah padaku. Aku tersenyum. Kucari tempat duduk dan menghambur bersama para tamu yang lain. Dari kejauhan, kembali kutatap gadis itu lekat-lekat. Wajahnya putih bersih dengan alis hitam pekat melingkar indah diatas kedua mata sipitnya. Hidungnya yang menjulang lancip, pipinya yang merona, serta senyumnya yang merekah, semakin mempertegas pundi-pundi kecantikannya. Ia mengenakan gaun putih nan cantik dan kerudung warna putih, berpadu dengan aneka aksesoris silver terang bak mahkota yang melingkar indah diatas kepalanya. Ia bak seorang bidadari. Sungguh elok sekali penampilannya, aku tertegun. “Kupikir kau tak akan datang, Rima.” Sapa Akmal memaksaku terbangun dari lamunan panjangku. “Biar bagaimanapun dia pernah menjadi orang yang sangat berarti dalam hidupku.” Jawabku sambil kutatap dia yang sedang duduk manis bersama seorang gadis, bukan bersamaku..... “Aku harap Adil tidak pernah menyesal telah meninggalkan gadis sebaik dirimu.” Ucapnya pelan. “Tentu saja. Lihatlah, gadis yang ia pilih cantik sekali bukan?” ujarku mencoba tersenyum, sambil kutunjuk gadis yang tengah duduk sembari menggandeng mesra lengannya. Akmal masih saja tercengang seolah tak percaya dengan ketegaran yang kupamerkan padanya. Dia menatapku dalam, seolah berusaha untuk menyelami perasaanku yang sesungguhnya, ikut hanyut dalam kepedihan yang tengah kurasakan. Perlahan senyumku berubah sedikit kecut. Bagaimana tidak? Dulu dia yang memintaku untuk menunggunya sampai dia benar-benar pantas untuk berdiri satu shaf didepanku, menjadi imam sholatku dan menjadi imam yang baik bagi keluarga kecil kami kelak, begitu impiannya kala itu. Namun, kini ia duduk dan mengikat janji sehidup semati bersama seorang gadis, dan itu bukan aku..... Lalu, tak kuasa ku tahan lagi, air mataku menetes deras, tetesan yang setiap bulirnya menyadarkanku tentang arti kehilangan yang sesungguhnya, rasa yang terlalu pilu untuk kuratapi. Ini adalah hari bahagianya. Hari dimana ia kini telah mememukan sosok tambatan hati yang sesungguhnya. Melihatnya tersenyum bahagia bersama gadis itu, seharusnya aku ikut bahagia, tapi kenapa di otakku masih saja memikirkannya? Tak elok hukumnya jika masih “menyimpan rasa” pada seseorang yang kini telah sah menjadi milik orang lain. Maka, perlahan akan kubunuh rasa ini dari hatiku. Terimakasih, sekali lagi kuucapkan terima kasih untuknya. Terimakasih untuknya yang telah menorehkan sepenggal episode dalam cerita hidupku, terimakasih untuknya yang telah mewarnai lembar masa laluku dengan secarik kisah yang tak akan mungkin sanggup kulupakan. Terimakasih untuknya pula yang telah mengajarkanku tentang apa itu ikhlas, sehingga membuatku belajar bagaimana mengikhlaskan seseorang yang kucintai kini telah mencintai orang lain... Kembali aku teringat pada sajadah merah itu, sajadah merah yang dulu sempat ia titipkan padaku. Sajadah merah, yaa... sajadah merah yang hingga kini masih setia menemani setiap sujudku, yang selalu menjadi saksi dalam setiap lantunan doaku tentangnya. "Jangan khawatir, aku akan senantiasa menjaga titipanmu dengan sepenuh jiwaku, selamanya......". ***TAMAT*** Baca Sambungannya : 1.Aku dan Sajadah Merahku Part. I 2.Aku dan Sajadah Merahku Part. II PROFIL PENULIS Ulfatul Khadroh, TTL : Kebumen, 7 Maret 1991 Facebook : Ulzahrah Syiefaa Khozin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar