Senin, 15 September 2014

🌈 Pelangi Di Ujung Senja Part II

Pelangi Di Ujung Senja Part. II - Cerpen Remaja Islam
Pelangi Di Ujung Senja Part. II - Cerpen Remaja Islam PELANGI DI UJUNG SENJA PART. II Cerpen Karya Ulzahrah Syiefaa Khozin Kami menikah di Masjid depan rumahku. Selanjutnya, sebuah acara kami gelar secara sederhana dan khidmat. Disaksikan oleh kerabat, sahabat, serta tetangga kami yang hadir. Awalnya hampir semua sahabat-sahabatku menentang keputusanku, pasalnya dari dulu banyak gadis-gadis cantik yang menaruh kagum padaku. Bukannya aku sombong, namun begitulah kenyataannya. Sejak masih SMA hingga kuliah di Mesir, entah sudah berapa puluh gadis yang secara terang-terangan mengutarakan perasaannya padaku. Namun semuanya kutolak dengan halus, padahal hampir semuanya masuk dalam kriteria gadis idamanku; sholekhah, lembut, sabar dan sederhana, pengetahuan agamanya tak perlu diragukan lagi, mereka semua santri unggulan. Kalau ditanya alasannya apa, aku juga tak tahu jawabnya. Mungkin memang mereka bukan jodohku. Lalu, mengapa hatiku justru terpikat pada sosok Vania? Gadis yang seolah baru kemaren sore aku mengenalnya? Apalagi mengingat masa lalu Vania yang kelam, ditambah pengetahuan agamanya yang masih sangat dangkal membuat sahabat-sahabatku menyangsikan akhlak Vania. Tapi biarlah, aku tetap pada keputusanku menikahinya. Dalam resepsiku, Hanum tak bisa hadir. Dia hanya menitipkan sebuah kado untukku. Aku tidak tahu entah sampai kapan dia menjauhiku. Di kantor dia jadi uring-uringan. Setiap kesalahan kecil yang kubuat, sengaja dia besar-besarkan. Mendadak dia memutuskan untuk pindah divisi, yang semula satu divisi bersamaku kini beralih pada divisi lainnya. Padahal aku ingat betul, dulu waktu aku kembali dari Mesir dan bekerja dikantor yang dikelola ayahku serta ayahnya, dia sendiri yang meminta ayahnya menaruhku satu divisi dengannya. Tapi, ya sudahlah. Semoga Alloh segera membukakan pintu hatinya untuk memaafkanku. Sejak kecil kami sudah bersahabat, dan aku tak ingin persahabatan kami berakhir menjadi saling membenci satu sama lain. Ternyata lagi-lagi Alloh mendengar doaku. Lambat laun, Hanum sudah mulai mau menyapaku kembali. Dia bahkan sesekali main ketempatku sambil membawakan makanan kesukaan istriku, kala itu Vania sedang ngidam. *** Aku mengeliat dibalik selimut. Udara pagi yang dingin membuatku masih sedikit malas untuk bangun. Namun lamat-lamat kudengar suara lembut istriku membangunkanku untuk segera bangkit. “Mas, sudah hampir shubuh, ayo bangun.” Bisiknya sambil mengguncang-guncangkan bahuku. Perlahan aku mulai membuka mata. Istriku sudah rapi dan wangi. Ia tersenyum kearahku, dan aku membalas senyumnya. Ia menyodorkan handuk padaku. Kulirik jam dinding, sudah jam setengah empat pagi!! Kuusir segera rasa malas yang masih hinggap dalam diriku, bergegas menuju kamar mandi. Sebelum beranjak, kulihat Vania sibuk menggelar dua sajadah untuk diriku dan dirinya. Rutinitas seperti ini sudah kujalani sejak Vania menjadi istriku. Vania memang istri yang baik. Bahkan aku tak pernah menyangka bahwa ia ternyata jauh lebih baik dari ketika belum menjadi istriku. Meski ia tak sepandai dan sealim wanita-wanita lain yang pernah dekat denganku, tapi ia bisa membuatku merasa damai disisinya. Aku benar-benar beruntung memilikinya. “Mas, jika anak kita lahir kelak, yang mana yang lebih kau inginkan? Anak laki-laki atau perempuan?” tanyanya kala itu. “Terserah Alloh saja, yang penting sehat.” ucapku tersenyum. “Ayo, Mas Rafi pilih mana? Laki-laki atau perempuan?” rengeknya manja. “Kalau kamu?” tanyaku balik. “Hmm...aku ingin punya anak laki-laki.” “Kenapa?” tanyaku heran. “Aku ingin dia pandai sepertimu, pandai membaca al-qur’an sepertimu, sanggup menjadi seorang imam sepertimu, agar suatu saat jika Mas Rafi sedang tidak berada dirumah, dia bisa mengimami sholatku.” Ucapnya jujur. Aku tersenyum mendengar alasannya, sebuah alasan yang sangat sederhana namun begitu mulia. Semoga apa yang ia impikan kelak bisa terwujud. “Amin.” Balasku tersenyum menatapnya. *** Memasuki bulan kelima kehamilannya, aku sempat menaruh curiga padanya. Vania sering terlihat sakit perut. Namun dia seperti sengaja menyembunyikan rasa sakitnya jika berada didepanku. Aku sering mengajaknya periksa ke dokter, namun selalu dia tolak dengan halus. Dia bersikeras untuk istirahat dulu saja. Pernah suatu ketika, setelah aku pulang dari kantor, tanpa sengaja kudapati setumpuk obat di salah satu laci lemari pakaiannya, ketika kutanyakan obat apa itu, dia mengatakan bahwa itu hanya vitamin untuk menjaga kandungannya. Belakangan kuketahui ternyata dia sering periksa ke dokter dengan ditemani ibunya. Dan ketika aku bertanya apa sakitnya, dia hanya tersenyum dan mengatakan bahwa sedikit kontraksi saat hamil itu hal yang wajar. Sampai akhirnya aku tahu sendiri penyakitnya. Ia terkena kanker servik. Dari awal kehamilan, dokter kandungannya sudah membujuknya untuk menggugurkan janin yang dikandungnya karena itu akan sangat berbahaya terhadap keselamatannya. Tapi dia tetap bersikeras untuk mempertahankan janinnya, meski dia harus bertaruh nyawa. Aku sangat menyesal kenapa aku baru mengetahuinya justru setelah bayi kami lahir. Semuanya sudah terlambat. Bayi laki-laki kami lahir dengan selamat pada jum’at dini hari, dan aku beri nama Zaidan Imam Akbar. Aku masih ingat senyum bahagianya saat melihatku mengumandangkan adzan serta iqomat pada kedua telinga bayi kami. Saat itu terasa lengkap sudah kebahagiaan kami. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama, dua jam setelah proses persalinan itu, Vania mengalami pendarahan hebat yang membuatnya jatuh koma. Tepat tiga hari sejak ia terbaring koma, aku, Hanum juga Akbar bayi kecilku, mendapat ijin untuk menemuinya di ruang ICCU. Kami diam membisu disisi ranjangnya. Hanum meletakkan Akbar disisi Vania, seolah ingin membangunkan Vania dari tidur panjangnya. Detik demi detik berlalu, masih tak ada reaksi. Hanya alunan napas berhembus pelan, begitu lembut dan semayup. Aku masih melantunkan lafadz dzikir untuknya. Suasana tampak mencekam. Akbar mulai menangis, Hanum sibuk menenangkannya. Hingga akhirnya terdengar ada gumam lirih, “Akbar, jangan menangis nak.” Bisiknya pelan. Sontak aku dan Hanum menatap kearah Vania. Sepasang mata sembab itu kini mulai terbuka. Bibirnya yang pucat keunguan menyungging senyum tipis kearah kami. “Alhamdulillah, Vania....” aku mengambil jemarinya, menggenggam erat telapak tangannya serta menciumnya. “Mas, maafkan aku telah menyembunyikan sakitku ini darimu.” Ucapnya sedih. “Sayang, yang terpenting bagiku sekarang adalah kesembuhanmu.” jawabku tersenyum padanya. “Jika nanti aku harus pergi lebih dulu.....” imbuhnya dengan mata berkaca-kaca. “Ssstt, jangan berkata seperti itu, kamu harus kuat, Vania! Demi aku, juga demi anak kita. Kamu dan aku akan bersama-sama merawat serta mendidik Akbar sampai dia dewasa, kamu dulu pernah bilang kan? Kamu ingin punya anak laki-laki, agar ia bisa mengimamimu jika aku sedang tak berada dirumah? Menyaksikan ia tumbuh menjadi manusia dewasa yang berakhlakul karimah, seperti itu kan? Vania tersenyum menatapku, Kuambil kembali jemarinya, menggenggamnya erat-erat, seolah ingin mengalirkan hawa kehidupan pada wanita yang sangat kucintai. “Tapi aku harus bilang, jika aku pergi....” Vania berjuang keras untuk mengucapkan kata-demi katanya. Air matanya mulai mengalir deras di kedua pipinya. Dia menengok lemah kearah Hanum yang kini menggendong Akbar. Akbar kembali tertidur pulas dalam gendongannya. “Hanum, maafkan aku merebut Mas Rafi darimu.” “Kau tak pernah merebutnya dariku, Vania. Dia milikmu.” Jawab Hanum dengan mata berkaca-kaca. “Jika aku pergi nanti, aku titipkan suamiku serta anakku padamu.” Ucapnya lirih menatap lekat kearah Hanum. Seolah membuktikan keseriusan dari ucapannya itu. Tak kuasa lagi kutahan air mataku. Vania sepertinya sudah bisa memprediksi hidupnya, tubuhnya kian melemah. Kulihat ia menatapku dalam, seolah tak akan lagi sanggup menatapku lebih lama. Ia terlihat tenang dan pasrah, seperti sudah siap menghadap Sang Ilahi. Namun sayangnya aku tak bisa bersikap sama sepertinya. Aku tak sanggup membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi nantinya. Lalu, saat suaranya menjadi tidak jelas seperti menceracau, dengan hati hancur kubisikkan kalimat lembut di telinganya. Sementara itu, Hanum berlari keluar hendak meminta pertolongan. “Laa ilaahaillalloh, Muhammadurrosululloh.” bisikku lembut di telinganya. “Laa ila-ha illa---lloh, Muh....” Ucapnya terbata-bata. “Laa ilaahaillalloh, Muhammadurrosululloh.” Aku mengulangi. “Laa ila-ha illa---lloh, Mu-ham-ma.....” Ucapnya kian terbata-bata. ”Muhammadurrosululloh.” Tuntunku sambil menitikkan airmata. “Mu-ham-ma -dur-rosul-lu-lloh.” Ucapnya dengan suara melemah nyaris hilang. Lalu, tubuh Vania seketika terdiam kaku. Sepasang mata sembab itu kini tertutup. Bersamaan dengan sesungging senyum meleret dibibir pucatnya. “Vaniaaaa....!” teriakku tak tertahan. Kupeluk tubuhnya kuat-kuat, tak mau ku berpisah dengannya untuk selama-lamanya. “Bangun, ayo bangun sayang....,” bisikku lagi. Tak ada reaksi. Kabel-kabel yang mendeteksi detak jantungnya kini terhenti. Kuraba jemarinya. Dingin!! Disaat yang bersamaan, para dokter juga perawat segera sibuk memeriksa peralatan medis yang menempel di tubuh Vania, memeriksa detak jantungnya dengan alat perekam. Sementara itu, aku duduk terpaku di sisi ranjangnya, gemetar dan seolah masih belum percaya dengan apa yang sedang terjadi pada istriku, aku seperti sedang mimpi buruk. “Oh, Tuhan, lekas bangunkan aku dari mimpi buruk ini......” Para tim medis menatapku sambil menggeleng pelan, “Maaf pak Rafi, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi istri bapak sudah tidak bisa diselamatkan.” Ucap salah satu dari mereka. “Innalillahi wainna ilaihi rojiuun.” Bisikku pelan sambil menutupi mukaku dengan kedua telapak tanganku. Aku hanya bisa mengembalikan segalanya pada Alloh. Dia lah yang lebih berhak atas hidup istriku. Kucurahkan segala kesedihanku melebur bersama lantunan dzikirku untuknya. Tubuhku melemas, pandanganku kabur, Aku tak sanggup lagi menatap hidupku kedepan, seolah duniaku kini runtuh, hampa. Dan setelah itu semuanya tampak gelap. *** Suara sirine mengaum amat memilukan, amat menyayat hati. Ambulans yang membawa jenazah istriku perlahan mulai bergerak meninggalkan rumah kami. Segenap kerabat, tetangga serta sahabat kami tampak hadir mengantarkannya hingga ke pemakaman. Mereka tampak larut dalam kedukaan yang mendalam. Saat ambulans sudah sampai di gerbang pemakaman, aku melangkah lungkrah, nyaris pingsan, seolah belum begitu kuat mengangkat beban berat yang kini tengah menghimpitku. Ayahku serta ayah mertuaku memapahku menuju tempat peristirahatan terakhir wanita yang dua tahun terakhir mengisi hari-hariku. Prosesi pemakaman berjalan khusyu’ dan khidmat. Lantunan adzan dan iqomat memecahkan hening yang mengapung, memekak haru semua pelayat yang hadir, seolah mengingatkan bahwa kematian adalah sebuah keniscayaan. Kematian menjadi pengingat bahwa suatu saat prosesi seperti ini akan menimpa siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Tinggal bagaimana kita mempersiapkan diri kita dengan bekal yang cukup untuk menghadap-Nya. Aku masih terpaut dalam lantunan dzikirku, mencoba menguatkan hati yang kini remuk-redam. Hilir-mudik sahabat-sahabat kami menyalamiku serta menepuk-nepuk pundakku, seolah ingin memberi kekuatan padaku. Tatapan mataku masih nanar, antara sadar dan tidak. Hujan deras yang mengguyur sepanjang malam hingga siang tadi sudah mulai mereda, menyisakan gerimis yang masih renyai. Sekilas kutatap nun jauh ke ujung cakrawala. Matahari perlahan mulai menepi, pertanda senja mulai menyingsing. Diantara gerimis kecil itu, tampak sebuah pelangi terlukis sempurna dilatari langit kemuning. Pelangi itu membentuk lengkung indah bak pintu gerbang setengah jadi. Sungguh mampu merenyuhkan jiwa-jiwa yang rindu untuk kembali, kembali ke haribaan-Nya. Aku masih menengadah beberapa saat ke langit. ”Ah, benar-benar pelangi di ujung senja yang sangat cantik!” Bisikku dengan air mata yang kembali berlinang. “Sudahlah Nak, kita pulang yuk? Kau harus kuat, anakmu kini hanya bertumpu padamu.” bisik ibuku parau. Aku tak sanggup menjawab apa-apa selain hanya bisa mengangguk lemah. Kini, aku merasa separuh jiwaku telah hilang, ikut terkubur bersama jasad istriku. Kini takkan ada lagi senyum manisnya menghiasi hari-hariku, takkan ada lagi suara manjanya yang membuat letihku hilang tiada berbekas. Takkan ada lagi dia yang mengingatkanku untuk sholat diawal waktu, takkan ada pula dia yang tak pernah lupa mencium tanganku seusai sholat, ya takkan ada lagi. Vania kini telah pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya. “Vania, jika esok pagi, ketika aku bangun, tak lagi kutemukan senyum manismu menyapa seperti biasa, semoga bisa kutemukan senyum itu meski hanya dalam mimpiku, semoga kini kau sudah bahagia disisi-Nya.” Ucapku lirih sambil kuusap airmataku, mencoba bangkit dari sisi pusaranya. *TAMAT* Baca Sambungannya : 1.Pelangi Di Ujung Senja Part. I 2.Pelangi Di Ujung Senja Part. II PROFIL PENULIS Ulfatul khadroh, TTL : Kebumen, 7 Maret 1991 Facebook : Ulzahrah Syiefaa Khozin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar