Senin, 15 September 2014

Langit kemarau

Langit Kemarau Karya Ulzahrah Syiefaa Khozin
Langit Kemarau Karya Ulzahrah Syiefaa Khozin LANGIT KEMARAU Cerpen Karya Ulzahrah Syiefaa Khozin Sungguh, aku kagum sekali padanya. Dia yang tak pernah kasar walau hatinya sedang marah, dia yang tak pernah bosan walau hanya sebagai pendengar setiap keluh kesahku, dia yang selalu berusaha mengerti apa yang aku mau. Dia yang selalu peduli dengan kondisi kesehatanku. Ya, dia memang selalu ada kapanpun aku membutuhkannya. Dia bernama Ulinnuha, lelaki yang usianya terpaut tiga tahun lebih tua dariku. Aku biasa memanggilnya Mas Ulin. Dia begitu baik padaku, kelewat baik malah. Aku bahkan belum pernah berjumpa dengan laki-laki yang sebaik dia. Jujur, aku tak ingat pasti kapan tepatnya rasa ini bermula. Entahlah, aku benar-benar tak menyadarinya. Cinta yang datang tanpa kusadari, perlahan mulai tumbuh dan bersemi tanpa bisa kucegah lagi. Hmm mungkin aku benar-benar jatuh cinta kepadanya, ataukah sekedar rasa simpati yang membingungkan? Aku sendiri tak mampu membedakannya. Yang jelas, ada seonggok rindu jika sehari saja tak kudengar suaranya, ada sebersit rasa sesak di hati jika melihat gadis lain mengagumi dirinya di depanku. “Kau pernah jatuh cinta?” kala itu iseng-iseng aku menanyainya. Hehehehehe, dia tertawa menatapku, kemudian berucap, “Tentu saja, aku masih manusia. Namun kalau aku jatuh cinta, apa iya aku harus mengumbarnya pada khalayak ramai sehingga semua orang bisa melihatnya? Ataukah harus kutulis dalam statusku di jejaring sosial agar semua orang tahu? Tentu saja tidak. Aku memilih untuk jatuh cinta dengan caraku sendiri. Tanpa kuucap, bukankah itu tetap cinta? Takkan berkurang kadarnya.” Jawabnya tersenyum. “Kau tak ingin menikah?” “Kata siapa? Tentu saja ingin, tapi bukan sekarang, tidak secepat itu, dan tidak semudah itu. Belum waktunya.” “Kapan waktu yang tepat menurutmu?” tanyaku menyelidik. “Hmm...mungkin tiga tahun lagi.” Katanya setengah tak yakin. “Oh, begitu? Mengapa?” tanyaku penasaran. “Aku masih belum yakin.” “Kenapa?” desakku lagi. “Tidak apa-apa, yang jelas belum ada calonnya.” ucapnya tertawa. “Aku mau.” Jawabku cepat. Mas Ulinnuha tercengang menatapku seolah tak percaya.... "Ine, memangnya kau mau menikah dengan laki-laki jelek sepertiku?" tanyanya merendah. "Aku suka yang jelek-jelek sepertimu." "Aku tak sepadan denganmu." ucapnya lagi. "Aku gak peduli." "Aku tak se-kaya dirimu." "Pokoknya aku gak peduli." "Aku tak sepintar dirimu." "Ah, kau ini. Sudah kubilang, aku gak peduli." Jawabku mulai kesal. "Lalu apa yang kau pedulikan?" tanyanya menatapku. "Seandainya..," aku mulai berangan-angan. "Sssttt...jangan berandai-andai, karena aku memiliki banyak realita yang kelak akan kusuguhkan hanya untukmu." Percakapan terhenti, lagi-lagi dia membuat statement yang sulit untuk kumengerti. Entah apa maksudnya. Dibilang dekat tapi serasa jauh, dibilang jauh enggak juga. Begitulah, status kami memang tak jelas. Sampai setelah merampungkan kuliahku, aku memutuskan untuk kembali ke kampung halamanku di Lampung. Saat itu kami benar-benar berpisah. Aku pulang dengan menggenggam sebuah mimpi yang masih kusimpan rapat-rapat dalam hatiku. Semuanya tentang dia. Hari-hari pertama aku dirumah kuisi dengan banyak melamun, menangis, bahkan makan sering terlupakan, dan sakit sudah menjadi langganan hampir tiap Minggu. Sungguh hari-hari yang amat menyedihkan bagiku. Di tahun ke-satu pasca kepulanganku, aku masih menunggunya dengan setia. Berharap semoga ia segera datang menjemputku. Namun ternyata yang ditunggu tak jua datang. Tahun ke-dua aku masih dengan harapan yang sama, menanti sebuah kepastian darinya. "Assalamu'alaikum." Terdengar suara salam dari balik pintu. Dari halaman luar telah berdiri seorang laki-laki tampan tersenyum menatapku. “Wa’alaikumsalam.” Aku terkejut. Kehadirannya melemparkan memoriku ke masa lalu, Mas Rafa, cinta pertamaku, teman satu SMA. Cinta. Ya, dulu aku pernah mencintainya, sangat mencintainya malah. Cinta yang tanpa kuminta dan kusadari, yang akhirnya berujung pada sebuah permusuhan. Saling benci, saling menyalahkan dan saling enggan berkomunikasi, karena ia telah berbuat satu kesalahan yang tak mungkin lagi ku maafkan. Semuanya bermula sejak ia masuk ke dalam sebuah organisasi yang telah membesarkan namanya, organisasi yang menjadikan ia sebagai manusia paling populer di sekolah, organisasi yang mempertemukan ia dengan Rindi, gadis centil yang telah membuat Mas Rafa begitu tega mengusir paksa aku dari hatinya. Ya, dialah sosok yang paling patut disalahkan atas berakhirnya hubungan kami. Sungguh waktu yang dulu sekali, aku bahkan sudah mengubur dalam-dalam kenangan pahit itu. Sepertinya, sudah cukup enam tahun yang lalu ia mengusir dan membunuhku dari hatinya. Dan sejak saat itu, hampir seluruh waktu dilewatkannya tanpaku, bukannya aku yang tak ada ditempat itu, melainkan dia yang tak pernah mau menanyakan kabarku, jangankan menanyakan kabar, sekedar menyapaku saja tak pernah ia lakukan. Lalu kini, ia datang kembali dengan begitu tiba-tiba, entah apa maksudnya. Untuk sesaat kami terdiam. Sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Hingga akhirnya ia memberanikan diri berucap, “Ine, maafkan salahku di masa lalu.” Ucapnya pelan. “Sudahlah, anggap saja itu tak pernah terjadi.” Jawabku tanpa menatapnya. Hatiku seakan kembali bernostalgia tentang rasa sakit itu, rasa sakit yang pernah ia torehkan enam tahun yang lalu kini kembali menyeruak bagai luka baru. “Aku ingin bersahabat lagi denganmu.” ucapnya serius. Aku mendongak, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja ia katakan. Lamat-lamat aku menatapnya, kulihat sepertinya kini ia sudah benar-benar berubah. Ternyata rentang waktu enam tahun membuatnya menyadari kesalahannya dimasa lalu. Lalu setelah pertemuan sore itu, kami kembali intens berkomunikasi. Jujur, kehadirannya perlahan menumbuhkan kembali rasa cinta yang dulu sempat terkubur oleh tumpukan kebencian yang terlanjur kualamatkan padanya. Cinta itu kini mulai bersemi kembali tanpa bisa kucegah lagi. Begitulah, sampai akhirnya Mas Rafa mengutarakan niatnya melamarku. Meski awalnya aku tak yakin dengan perasaanku sendiri, tapi keluarga serta hampir semua sahabat-sahabatku menyarankanku untuk menerimanya kembali. Bukankah setiap orang pernah melakukan kesalahan? Jadi tak ada salahnya memberikan kesempatan kedua untuknya. Toh selama itu dia benar-benar menunjukkan penyesalannya dan berjanji untuk tidak mengulangi kebodohannya lagi. “Kau benar-benar tak waras, Ine. Buang-buang waktu saja, sudah lupakan saja Mas Ulin, seperti tidak ada laki-laki lain saja, terima saja lamaran Mas Rafa itu, seenggaknya dia lebih pasti. Toh selama ini Mas Ulin tak pernah jujur tentang perasaannya padamu. Bagaimana jika ternyata dia sudah mencintai gadis lain selain dirimu?” komentar sahabat-sahabatku. Aku diam sejenak, mencoba meresapi nasehat itu. Dan sepertinya memang benar, ini sudah memasuki awal tahun ketiga, kurasa sudah cukup bagiku untuk mengakui segala kekalahanku. Rasanya, terlalu bodoh jika aku masih saja mengharapkan dia yang tanpa kepastian. Meski aku tak yakin kalau aku sudah benar-benar mencintai Mas Rafa kembali. Tapi seenggaknya aku bisa melihat niat tulusnya. Begitulah, sampai akhirnya sebulan kemudian aku benar-benar bertemu lagi dengannya, bertemu dengan sosok yang kucintai, Mas Ulin!! Sungguh sebuah pertemuan yang tak pernah kuduga sebelumnya. Pertemuan yang sangat mengharukan. Aku masih dengan perasaan yang sama. Hanya saja kini aku bukanlah aku yang dulu lagi. Aku sudah bersama Mas Rafa, setelah keputusan yang ku ambil tepat sebulan yang lalu. “Ine, maukah kau menikah denganku?” pintanya mengejutkanku sangat. Duggg, hatiku bergemuruh. Tawaran itu, kenapa baru sekarang ia mengatakannya? Keputusan yang sudah terlambat, seharusnya ia mengatakannya sejak dulu. Ah, mengapa tiba-tiba perasaanku jadi kacau begini? Ya Allah, aku harus bagaimana? Aku mencintainya, tapi aku juga tak mau mengkhianati Mas Rafa! Perasaanku campur aduk. Perih. Kenapa? Kenapa baru sekarang ia katakan semua ini?? Andai saja aku tahu ia akan datang, takkan kubiarkan Mas Rafa masuk dan membangun kembali puing-puing cinta dalam hatiku!! Sekarang, apa yang harus aku lakukan untuk membuatnya mengerti kondisiku? Diam untuk mengubur kenangan, ah atau malah menguatkan kenangan? “Aku milik orang lain!" jawabku tegas, berusaha menyamarkan perasaanku yang sebenarnya. Dia menatapku tak percaya, “Ine, kau sedang bercanda kan? Ucapnya sambil tertawa. "Maafkan aku, Mas! Sungguh, kini hatiku sudah terlanjur berselancar pada hati seseorang." Ucapku sambil menunduk dalam. Tawa itu mendadak terhenti, kini ia serius menatapku, “Aku yakin kau tidak sedang benar-benar mencintainya. Bukankah dulu kau mencintaiku?” protesnya setengah tak percaya. “Maafkan aku Mas, maafkan aku yang tak sabar menunggumu, sehingga aku sudah terlanjur menerima orang lain.” Kataku lagi. “Aku hanya ingin memastikan bahwa apa yang kuyakini selama ini memang benar adanya, bahwasannya garis hidup yang telah Tuhan takdirkan untukku, yaitu kamu. Namun kini justru kenyataan pahit yang kudapati bahwa kini kau sudah bersama orang lain.” Akunya pelan. Aku tertunduk, rasa bersalah itu kembali menjalar. “Ine, aku mohon kembalilah kepadaku.” Aku menggeleng, "Tapi itu tak mungkin Mas, sekarang aku milik Mas Rafa. Lagipula bulan depan kami akan menikah." Akhirnya terlontar juga kata-kata yang telah kususun sejak tadi. Ucapanku membuatnya terperangah. Dia menatapku tajam. Sinar matanya menyiratkan luka hati yang dalam. “Aku sudah tak sanggup lagi berdiri tegak.” Akunya lirih. Aku kembali menggeleng, “Jangan pernah bersedih karena kekuatan yang akan selalu kupinta kepada Tuhan untukmu. Mas, aku percaya kau orang baik, dan kau pantas mendapatkan yang terbaik. Untuk ukuran orang se-sholeh dirimu, aku yakin Alloh sudah mempersiapkan wanita terbaik yang Ia pilihkan untukmu kelak, percayalah.” Ia mengangguk pelan dengan mata berkaca-kaca. “Semoga kau bahagia bersamanya.” Ucapnya lirih, menahan air mata yang hampir tumpah, lalu meninggalkanku yang mulai terisak. Hatiku sesak, ada rasa sesal yang tiba-tiba menyeruak tanpa kendali. “Ah, seandainya kau katakan itu lebih dulu, Mas. Aku pasti masih setia menunggumu.” Gumamku lirih. Kuusap mata, Perih. Entah sudah berapa lama aku melamun, mengenang pertemuan yang menyakitkan itu. “Ine, kenapa masih disini? Ayo keluarlah, akad akan segera dimulai.” Ibuku melongok dari balik pintu kamar. Aku tak sanggup menjawab apa-apa selain hanya bisa mengangguk lemah, menyusul langkah beliau. Usai akad, aku memandang jauh para tamu undangan yang hadir menyaksikan hari bersejarah dalam hidup kami, berusaha mempercayai apa yang sudah terjadi, berusaha mempercayai bahwa laki-laki yang kini duduk bersanding denganku adalah suamiku. Lalu, hanya kepasrahan yang bisa kuucapkan pada-Nya, semoga inilah jalan terbaik yang Tuhan pilihkan untukku. “Selamat ya Ne, semoga jadi keluarga ‘SaMaRa’. Jujur, aku sempat berfikir, dulu ku kira kau sama Mas Ulinnuha,” komentar Makaila, sahabatku. “Kami hanya bersahabat.” ucapku mencoba tersenyum. Lalu, saat pesta telah usai, air mataku kembali menetes, tetesan yang kubendung dengan senyuman sepanjang pesta resepsi kini benar-benar mengalir deras tanpa bisa kutahan lagi. “Ine, kau kenapa sayang?” bisik seseorang lembut, aku menoleh ke arah suara itu. “Mengapa menangis? Apakah kau sakit?” tanya Mas Rafa menyeka lembut buliran air mataku dengan ibu jarinya. Tampak sekali kekhawatiran menyelimuti wajah tampannya. Aku menggeleng pelan, “Tidak apa, aku hanya sedikit lelah.” Jawabku lirih, mencoba tersenyum, berusaha menyamarkan perasaanku yang sesungguhnya. “Oh, syukurlah.” Jawabnya lega. “Kalau kau lelah, istirahat saja dulu.” Tawarnya dengan ramah, ia mengambil jemariku, menggenggamnya erat. Mas Rafa terpaku, ia kini tersenyum menatapku, tapi kenapa aku masih saja memikirkan Mas Ulin? Oh tidak, tidak!! Tidak seharusnya aku begini. Dia hanya bagian dari masa laluku! Masa lalu yang seharusnya aku kubur dalam-dalam. Dan seharusnya kini hanya Mas Rafa yang ada di pikiran serta hatiku, bukan lelaki lain. Dosa hukumnya kalau saat ini masih saja aku terpikir padanya. “Astaghfirullah,” kuucapkan istighfar berkali-kali dalam hati. Aku berdiri, melangkah untuk mengambil air wudhu, kemudian kujalankan sholat sunnah dua rakaat bersamanya, bersama Mas Rafa, imamku kini. Seusai sholat, kembali setitik air mata menetes di pipiku. Namun kali ini aku tidak menangisinya. Aku menangis untuk diriku sendiri, aku menangisi hatiku yang lemah oleh takdir. Pintaku dalam doaku kini, semoga benih-benih cinta tetap bersemi dalam hatiku untuk Mas Rafa seorang, hingga maut memisahkan kami. Dan semoga diluar sana, Mas Ulin segera mendapatkan sosok wanita yang kelak bisa mengantarkan mimpinya menuju kebahagiaan dunia serta akhirat. Amiin. *TAMAT* PROFIL PENULIS Ulfatul Khadroh, TTL, Kebumen, 7 Maret 1991 Facebook : Ulzahrah Syiefaa Khozin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar