Minggu, 14 September 2014

Aku Dan Sajadah Merahku

Aku dan Sajadah Merahku Part. I Karya Ulzahrah Syiefaa Khozin Aku dan Sajadah Merahku Part. I Karya Ulzahrah Syiefaa Khozin AKU DAN SAJADAH MERAHKU PART. I Cerpen Karya Ulzahrah Syiefaa Khozin "Bulan ke-satu...ke-dua...ke-tiga...ke-empat...ke-lima, hingga bulan ke-enam pasca kiamat kecil itu, kini perlahan kehidupanku mulai normal kembali, meski tetap tak bisa sama seperti sedia kala." Sayup-sayup suara adzan Shubuh mengakhiri sujud panjangku malam ini. Tak terasa hampir dua jam sudah aku duduk terpaku diatas sajadah merah pemberian darinya, mengadukan keluh kesahku pada Sang Khalik. Kucoba untuk mulai bangkit dari keterpurukanku, dan kini perlahan mulai kutemukan kedamaian dalam jiwaku. Aku mulai berpikir bahwa masih banyak hal lain yang harus kulakukan selain terus menangisi keputusannya. Bukankah segala sesuatu memiliki batas waktu untuk berakhir? Cukup kepada Allah sebaik-baik tempat berharap. Dan pilihan-Nya tak akan pernah salah. Kucoba untuk pahami, meski sulit. Mungkin dulu Mas Adil sedang tersesat dihatiku sebelum akhirnya dia bertemu dengan belahan jiwanya yang sebenarnya. Jika memang benar begitu, maka tak ada alasan bagiku untuk terus menangisi sesuatu yang memang bukanlah milikku. Karena jodoh tidak akan pernah tertukar, bukan? Mulai sekarang aku akan belajar untuk memperbaiki diriku, serta terus mendoakan kebaikan untuknya pula. Semoga keputusannya itu tak pernah ia sesali. “Mas Adil, ku kutuk kau agar selalu bahagia bersama gadis itu.” Bisikku dalam salah satu bait doaku untuknya. Enam bulan yang lalu bukanlah saat yang mudah bagiku, saat dimana ia mengusirku dari hatinya. Bahkan kala itu aku tidak yakin bisa hidup kembali. Hmm enam bulan yang lalu, ya tepatnya saat ia menemuiku untuk kali pertamanya setelah kepulangannya ke Indonesia. Saat itu, aku merasa ada yang berbeda dari sikapnya. Dalam diamnya tercipta tanya-tanya tak pasti di hatiku. Ada apa dengan sikapnya? Mengapa mendung seolah menutupi wajah tampan dihadapanku? Namun, aku berusaha untuk memahami, mungkin ia sedang lelah, atau mungkin malah sedang sakit? Oh, sakitkah ia? Aku benar-benar menghawatirkannya. Jika sanggup, biar aku saja yang menanggung rasa sakitnya. Lebih dari seperempat jam aku diam terpaku menunggu suaranya, suara dari sosok yang sangat kurindukan kehadirannya. Namun sosok itu hanya memandang sendu kearahku, hingga akhirnya dia memberanikan diri untuk berucap, ucapan yang sekejap mampu membuat rinduku berubah nestapa. “Maafkan aku, Rima. Hatiku sudah terlanjur terpikat pada Laila.” Ucapnya kala itu. Aku tercekat mendengar perkataannya. Seketika itu juga air mataku luruh satu-satu. Miris. Aku tertunduk. Tatapanku nanar dan kosong. Hatiku limbung, serasa hidup bagai tak hidup, seolah hanya ragaku saja yang melayang-layang tanpa nyawa. Begitulah kata yang paling tepat untuk merangkum segala kepiluan hatiku saat itu. Aku bahkan tidak pernah membayangkan akan bertemu lagi dengannya justru dalam suasana yang menyakitkan seperti sore itu. Baru tiga hari sebelumnya Mas Adil menghubungiku, mengabariku bahwa dia akan segera tiba di Indonesia. Rinduku seketika itu membuncah. Lima tahun tak bertemu, akhirnya hari yang kutunggu-tunggu tiba juga. Dia katakan bahwa setibanya di Indonesia, dia akan langsung menemuiku. Ah, sebegitu rindunya kah dirinya padaku, sehingga tak mau berlama-lama untuk segera menemuiku? Gumamku kala itu. Namun, ternyata inilah akhir dari penantian panjangku selama ini, dia mengatakan bahwa sudah ada sosok lain yang menyelak posisiku dihatinya. Laila, gadis asal Malang yang lima tahun terakhir ini menjadi teman kuliahnya di Iran. Sempat terlintas sebersit tanya dihatiku, Semudah itukah baginya melupakanku? Bukankah dulu ia sendiri yang menyuruhku untuk setia menantinya hingga ia kembali? Rasanya, belum terlalu usang ingatanku ketika lima tahun yang lalu, persis saat dia akan berangkat dulu, dia berjanji kelak akan kembali untuk menjemputku sebagai seorang Ratu, Ratu di hatinya. Dia juga memberikan sebuah sajadah merah untukku. Pintanya agar aku selalu mengingatnya dalam setiap sujudku. Agar Alloh melapangkan jalan kami untuk bersatu dalam sebuah janji suci nan agung. Janji untuk sehidup semati bersama dalam suka dan duka, begitulah janjinya yang hingga saat ini masih terngiang-ngiang jelas ditelingaku. Namun kini janji tinggallah janji, dia yang menabur janji itu, dia sendiri yang mengingkarinya. Dan yang semakin membuatku tidak mengerti sekaligus menyakitkan adalah bagaimana dengan mudahnya dia mengatakan bahwa rasa cintanya sudah hilang, terkikis jarak, terenggut waktu. Cintanya telah beralih pada sosok Laila, tak tersisa sedikitpun untukku. Aku kembali memandangnya. Berharap ada sepercik cinta yang masih menyala dihatinya. Sia-sia. Hanya guratan rasa bersalah yang kutangkap dari wajah tampannya. Perih! Oh Tuhan, Andai saja aku tahu akan berakhir begini, takkan kubiarkan ia masuk dan menorehkan sejuta mimpi indah dalam hidupku! “Apakah kau serius dengan kata-katamu itu, Mas?” tanyaku memandangnya. Dia menatapku sendu, serta berkata lirih penuh penyesalan; “Maafkan aku Rima, Demi Tuhan aku benar-benar menyesal melakukan ini padamu. Namun, aku tak bisa memungkiri bahwa Laila yang kini lebih dominan dihatiku. Akan jauh lebih menyakitkan buatmu jika kupaksa untuk tetap bersamamu sementara hatiku kini bersamanya.” Akunya pelan. Aku diam terpaku mendengar jawabannya. Berusaha untuk memahami setiap kata yang ia sebut sebagai suatu alasan yang paling logis untuk meninggalkanku. “Mengapa baru sekarang kau katakan semua ini?” imbuhku pelan. “Kupikir ini adalah saat yang paling tepat untuk mengatakannya, jika kukatakan sebelum kau wisuda, mungkin skripsimu tak akan selesai dengan sesempurna ini.” jawabnya tanpa berani menatapku. Aku mengangguk pelan, perlahan mulai bisa menerima alasannya, meski batinku meradang, "Kuharap kau melakukan hal yang sama." ujarnya lagi, setelah sekian detik kami sama-sama diam membisu. "Apa maksudmu?” tanyaku menatapnya heran. “Mencoba untuk memukan sosok pengganti yang jauh lebih baik dariku.” Imbuhnya pelan. Aku tersenyum miris mendengar perkataannya, "Ini tak semudah yang kau kira, Mas! Aku bukanlah sosok yang mudah menaruh hati pada laki-laki lain hanya karena dia mempunyai segudang kelebihan daripadamu." bisikku dalam hati. “Ya, semoga saja.” anggukku pelan, pura-pura tersenyum kearahnya. Kenanganku kembali terlempar ke masa tujuh tahun yang lalu, masa-masa saat pertama kali aku mengenalnya, bersahabat dengannya dan sampai akhirnya menyayanginya. Waktu itu kami sama-sama duduk dibangku Madrasah Aliyah, dia kakak kelasku, selisih satu tingkat diatasku. “Rima, aku suka tulisanmu di mading itu.” Ucapnya kala itu. “Yang mana yang paling kau suka?” tanyaku dengan senyum mengembang. “Semuanya. Aku suka semua cerita yang kau tulis di mading itu.” Ucapnya serius. “Hehee...” Aku tersipu malu mendengar pujiannya, “Sungguh, aku suka semua cerita yang kau tulis di mading itu.” Ucapnya mengulangi. Dugg,, Hatiku bergetar mendengar pengakuannya. Sekilas mungkin tak ada yang istimewa dari ucapannya. Aku juga sering mendengar ucapan itu dari teman-temanku serta para guru disekolah kami. Tapi masalahnya ini darinya!! Dari Adil Wibawa Wibisono, sang ketua Osis yang diam-diam kukagumi. Ya, begitulah singkat kekalahanku padanya untuk yang pertama kalinya. *** “Aku tak habis pikir kenapa kau justru lebih tertarik pada Mas Adil dari pada yang lain.” Protes Sovia padaku kala itu. “Mengapa? Dia sosok yang baik, bukan?” sahutku membelanya. “Rima, mengapa kau tak pilih Akmal saja, dia lebih cakep, lebih pintar, lebih ramah dan juga yang paling penting dia jauh lebih sholeh daripada Mas Adil.” Aku tertawa mendengar usulan dari sahabat karibku itu, “Ah, kau ini mengacau, Sovia. Akmal itu sahabatku sejak SD, saat masuk SMA seharusnya dia diterima di SMA favorit di kota ini, tapi nyatanya dia malah memilih untuk masuk Madrasah Aliyah swasta bersamaku.” “Tapi menurutku dia mencintaimu.” Ujarnya kembali meyakinkanku. Aku kembali tertawa, “Hahaa..., bukan hal yang baru lagi, Sovia. Sejak SD kami sudah sering dikira pacaran.” Ucapku masih tertawa. Sekilas memoriku terlempar pada saat aku masih duduk dibangku kelas enam SD. Akmal teman sekelasku. Siswa terpandai di kelas. Pintar membuat puisi. Pernah membuat puisi untukku, khusus ia persembahkan untuk “Nurul Karima” dan ia bacakan keras-keras didepan kelas, membuatku menangis karena malu. Setelah kejadian itu kami sering diejek teman dikira pacaran. Lucu dan rasanya ingin tertawa sendiri ketika mengingat masa-masa itu. “Tapi apakah kau tak khawatir kalau Mas Adil itu akan sanggup menjadi imam sholatmu kelak?” “Sovia, dengarlah! Aku tak pernah menuntut lebih dari sebatas kemampuannya. Seperti sekarang ini saja sudah lebih dari cukup bagiku.” Jawabku sambil tersenyum pada Sovia. Sovia menatap lekat padaku, seolah masih belum percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari pengakuanku. Maklumlah, sebagai sahabat karibku, Sovia tahu betul bahwa dalam setiap doaku, aku selalu memohon pendamping hidup yang bisa menjadi imam ketika sholat, membimbing langkahku untuk lebih dekat dengan Alloh, serta menjadi suri tauladan untuk sebuah keluarga sakinah. Tapi Mas Adil sangat jauh dari kriteria yang aku impi-impikan selama ini. *** “Biar kau titipkan saja kadomu itu padaku.” Ucap Sovia tatkala melihat jemari tanganku tengah sibuk melipat kado pernikahan untuknya. “Bukankah mendatangi undangan sesama muslim merupakan sebuah kewajiban?” kataku sambil berusaha tersenyum menatap Sovia, mencoba menutupi kegundahan hatiku yang sesungguhnya. “Tapi masalahnya ini dari.....” imbuh Sovia yang langsung kupotong. “Justru karena ini darinya, maka aku tak akan mewakilkan pada siapapun.” Sovia menatapku iba, seraya menghambur dipelukanku. “Semuanya akan baik-baik saja, percayalah.” Ucapku pelan sembari balas memeluknya kuat-kuat. Baca Sambungannya : 1.Aku dan Sajadah Merahku Part. I 2.Aku dan Sajadah Merahku Part. II PROFIL PENULIS Ulfatul Khadroh, TTL : Kebumen, 7 Maret 1991 Facebook : Ulzahrah Syiefaa Khozin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar