Rabu, 10 September 2014

Nikahi Aku Karena Agamaku

RUBRIK CERPEN PEMBACA: Nikahi aku Karena Agamaku Toktoktok! Toktoktok! Zahra menyembulkan kepala ke pintu kamar untuk memastikan pendengarannya tidak salah. Toktoktok! “Assalamu’alaikum!” Terdengar suara dari luar mengucap salam. Ternyata benar, ada orang yang hendak bertamu.Tanpa tunggu lama Zahra menyambar sehelai kain untuk menutupi kepala.Ya. Zahra tak pernah bisa menemui orang yang bukan mahramnya sebelum ia rapi metutup aurat. Segera Zahra berlari menghampiri pintu. “Iya, tunggu sebentar ya!”Zahra sedikit berteriak sebelum akhirnya membuka pintu. “Wa’alaikumussalaam. Eh, Tante? Dik Fattah?” “Kak Zahraaaaa! Fattah kangen sama Kakak.” Tubuh mungil Fattah memeluk kaki Zahra. “Iya, Fattah. Kakak juga kangen sama Fattah. Hehe.”Zahra membelai lembut kepala Fattah.“Mau cari Umi ya, Tante?Ayo masuk, biar Zahra yang panggilkan.”Baru saja Zahra hendak membalikkan badan tapi Aminah memegang tangannya. “Loh, ada apa, Tante?” “Tak usah, Nak.Sebenarnya Tante ke sini mau mengantar Ali.Dia bilang ingin bertemu teman kecilnya.”Aminah tersenyum sambil memanggil Ali yang masih mematung di pagar. “Ali? A-LI, Tante?” Zahra membelalakkaget mendengar nama itu. “Iya, sayang. Ali… Teman kecilmu yang sering bermain denganmu.” “Assalamu’alaikum, Zahra. Apa kabarmu?” sapa Ali. “Wa’alaikumussalaam. Eh, Ali? Alhamdulillah aku baik.Ali bagaimana kabarnya?Sudah lama sekali ya tidak bertemu.”Zahra sedikit gerogi. “Iya, Zahra. Setiap aku sempatkan pulang, selalu saja tak bisa mampir ke sini.Habisnya waktu liburku selalu saja sebentar, aku harus mengejar jadwal kuliah yang sangat-sangat padat.Sekarang aku sudah lulus Zahra, tinggal tunggu waktu untuk wisuda.Hehe,” jelas Ali sambil terkekeh. “Iya, tak apa Ali. Aku mengerti keadaanmu.”Zahra melempar senyum. “Bunda… masuk yuk. Fattah ingin duduk, Bunda.”Fattah merengek-rengek sambil menarik-narik abaya Aminah. “Eh, Nak.Tidak sopan itu, pemilik rumah belum menyilakan kita masuk.”Aminah sedikit menatap tajam ke mata Fattah.Fattah hanya bisa memanyunkan bibir. “Astagfirullah… maaf, Tante.Zahra sampai lupa, keasyikan mengobrol dengan Ali.Maafkan Kak Zahra ya, Fattah sayang.Mari masuk!”Zahra menuntun Fattah yang masih cemberut. “Iya, tak apa. Tante maklum kok, Zahra pasti rindu kan pada teman kecil Zahra karena sudah lama tak bertemu. Hehe,” Aminah tertawa kecil. Aminah dan Aisyah, ibunda Zahra, adalah teman dekat sejak masih kuliah.Maka dari itu Zahra dan Ali menjadi teman dekat karena kedekatan orangtuanya. Ali sudah berteman sedari masih duduk di bangku taman kanak-kanak bersama Zahra. Sayangnya Ali harus pergi ke kota seberang untuk tinggal menemani neneknya yang sudah sakit-sakitan. Neneknya yang meminta Ali untuk melanjutkan sekolah di sana saat Ali telah lulus dari bangku SD. Ya. Ali adalah cucu kesayangan neneknya.Mau tak mau, Zahra harus berpisah dengan Ali dan setelah sepuluh tahun lamanya mereka kembali bertemu. Pagi itu Zahra habiskan bersama keluarga Ali, asyik mengobrol banyak hal termasuk pengalaman Ali.Ali sedikit mengalami perubahan.Ia semakin tampan dengan kacamatanya, selebihnya dandanan ia tak banyak berubah. Tetap seperti dulu, Ali yang selalu rapi dalam berpakaian. Zahra merasa kepandaian Ali juga sangat melejit, terbukti dari gaya bicara dan apa-apa yang ia ucapkan. Semua pembicaraannya berbobot, termasuk pengetahuan tentang agama –bukan hanya agama Islam. Kekaguman mulai berdesir di hati Zahra, tapi cepat-cepat ia kendalikan perasaannya. Khawatir malah akan parah. “Bunda, sudah siang ini. Mau pulang tidak?” tanya Ali setelah lama berbincang dengan Zahra dan Aisyah. “Bang Ali, Fattah masih mau main sama Rasyid di sini. Bang Ali kenapa ngajak pulang sih?Ah, Bang Ali nyebelin.”Fattah merengek. “Fattah, anak Bunda yang saleh… Ini sudah siang, sayang. Bunda masih ada keperluan lain. Nanti kalau ada waktu, kita main lagi ke sini ya, Nak?” bujuk Aminah. “Iya, Fattah. Lagian kan nanti di sekolah, kita ketemu lagi,” Rasyid ikut bicara. “Ya sudah.Aisyah, kami pamit pulang dulu. Kebetulan ada urusan lain yang harus diselesaikan.” “Kamu hati-hati ya di jalan, ya?Kapan-kapan main lagi ke sini,” timpal Aisyah. “Iya, insya Allah, Aisyah.Yuk, Nak!” ajak Aminah pada kedua anaknya. “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalaam,” jawab Aisyah, Zahra dan Rasyid. “Dadah Fattah, nanti ketemu di sekolah ya.”Rasyid melambaikan tangan, sementara Fattah hanya mampu menekuk wajah dengan langkah kaki yang dipaksakan. “Oh ya, Zahra?” panggil Ali sebelum melangkah lebih jauh. “Iya, Ali? Ada apa?” jawab Zahra. “Ah, tidak.Aku hanya ingin memberi tahu, di rumah aku punya banyak buku.Aku tahu kamu suka sekali membaca, kapan-kapan aku ke sini lagi bawakan untukmu, ya?” “Ah, Ali.Kamu selalu tahu kesukaanku, terima kasih sebelumnya ya.”Zahra tersenyum malu. “Ya sudah, aku pulang ya.” Ali menyusul Aminah dan Fattah yang sudah berjalan agak jauh duluan, hingga akhirnya bayangan Ali lenyap menghilang dari pandangan. Fhh… Zahra menarik nafas dan menghembuskan panjang-panjang.Ia berdoa semoga tidak ada suatu hal yang aneh muncul dalam degup jantungnya. *** Beberapa minggu kemudian, sesuai yang Ali janjikan bahwa ia akan datang membawa beberapa buku untuk dibaca Zahra. Kali ini ia hanya pergi bersama Fattah, Aminah tidak bisa ikut. Fattah memaksa kakaknya agar ia diajak ke rumah Zahra untuk bertemu dengan Rasyid. Semakin hari sekembalinya Ali dalam kehidupan Zahra, mereka berdua semakin akrab.Ali banyak bercerita tentang kenalannya di negeri orang.Malah tak sedikit teman Ali yang berbeda keyakinan dengannya.Perasaan yang tak diinginkan pun akhirnya tak bisa dihalang-halangi untuk tumbuh dalam hati Zahra.Namun sejauh ini Zahra masih bisa memendam dan tak mengatakan apapun pada Ali.Ia hanya berharap perasaan itu akan segera hilang seiring berlalunya detak jam. “Zahra?” panggil Ali dengan nada yang serius. Zahra yang sedang tertawa melihat Fattah dan Rasyid yang asyik bermain mobil-mobilan sontak terkejut, “Ya, Ali?Ada apa?” “Aku… aku… mmm aku…” Ali ragu untuk berbicara. “Iya? Aku… aku apa, Ali?” Zahra mengernyitkan dahi. “Zahra, mmm… aku… boleh cerita sama kamu?” Ali memberanikan diri. “Haha… Ali, aku ini Zahra teman kecilmu.Kenapa kamu harus kikuk seperti itu?Seperti sedang berbicara pada siapa saja.”Zahra tertawa melihat Ali yang salah tingkah. “Iya, Zahra. Aku sedikit malu untuk membicarakannya.Ini serius.” DEG! Detak jantung seperti terhenti seketika, kali ini Zahra yang salah tingkah. Jangan-jangan… jangan-jangan… Dugdugdugdugdugdugdug! Detak jantungnya memompa lebih cepat dari semula.Wajahnya terlihat sangat tegang menunggu Ali melanjutkan pembicaraan. “Zahra, aku malu kalau cerita sama Bunda. Jadi aku putuskan untuk cerita sama kamu. Kamu kan teman baikku, aku tak tahu lagi harus cerita pada siapa.”Ali menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. “Mmm… menurut kamu, kalau aku punya perasaan sama seorang gadis, bagaimana, Zahra?” lanjutnya. Zahra tersenyum, matanya semakin terlihat sipit ketika tersenyum seperti itu.“Ali, cinta adalah suatu hal yang fitrah pemberian dari Allah.Jadi, menurut aku tidak ada yang salah selama tidak melebihi batasan-batasan yang disyariatkan.” “Tapi, Za… masalahnya gadis itu adalah seorang gadis yang berbeda keyakinan denganku. Fhh..”Ali membuang nafas. “Maksudmu?” Zahra tak mengerti apa yang Ali maksud. “Iya, Za… Dia adalah seorang gadis kristiani, namanya Elena.” Ali tersenyum-senyum saat menyebutkan nama gadis yang ia maksud. “Ali… ternyata dia sama sekali tak menaruh perasaan untukku. Bahagia sekali sepertinya saat dia menyebutkan nama Elena. Begitu cinta kah Ali padanya?”Zahra berbicara dalam hati sampai-sampai tak sadar Ali yang tengah bicara malah tak didengarkan. Zahra bengong masih tak percaya dengan apa yang barusan Ali sampaikan. Cemburu kah ia? Zahra tak tahu pasti. “Za?Za?Zahra?!” Ali mengibas-ibaskan tangannya di depan wajah Zahra yang masih melamun.“Zahraaaa?”Ali sedikit berteriak. “Eh? Ya? Ya, ada apa, Ali? Maaf,” Zahra terkejut dan buyar lamunannya. “Za… kamu bagaimana sih?Aku dari tadi bicara tak didengar ya?Kamu melamunkan apa sih?”Ali merengus kesal. “Maaf Ali, maaf. Iya, tadi bagaimana?Bagaimana ceritanya?”Zahra membetulkan posisi duduk. “Itu, Za… Elena…”Ali mengingatkan. “Ah, itu… Kalau aku boleh tahu, memang apa yang kamu sukai dari dia? Adakah yang spesial?”Zahra menyelisik. “Aku jatuh cinta pada Elena karena ia pandai. Meski umurnya beberapa tahun di bawahku, tapi pengetahuannya sangat luas. Ia gadis yang cerdas, menurutku. Aku suka sekali gadis yang cerdas dan berwawasan luas.”Begitu bersemangatnya Ali menceritakan tentang Elena. “Sangat berbeda jauh dariku.Hmm.”Wajahnya berubah diselimuti sendu. “Kemarin saja kami habis debat lagi tentang sanggahan terhadap isi bible yang keliru,” lanjut Ali. “Oh ya?Lantas, bagaimana?”Zahra melupakan sendunya. “Iya, Za… Aku yang menang.Hehe,” Ali tersenyum malu. “Wah… hebat kamu, Li.” puji Zahra. “Ah, tidak.Bukan aku yang hebat, tapi Islam dan Al-Quran yang hebat.”Menyembul rona merah di pipi Ali yang putih, Ali garuk-garuk kepala karena malu. Mereka berdua lupa tentang pembicaraan semula karena terlalu asyik bercerita hal lainnya. *** Hari-hari semakin berlalu, setiap kali Ali ingin bercerita tentang Elena, Zahra lah yang jadi pendengar setianya.Itu semua cukup mengobok-obok perasaan Zahra, tapi Zahra berusaha untuk selalu bersikap sabar dan menjadi pendengar yang baik untuk Ali.Sementara Ali belum mengetahui bagaimana perasaan Zahra yang sesungguhnya. Siang itu Ali memutuskan untuk berkunjung kembali ke rumah Zahra. Seperti biasa, cerita tentang Elena yang ia bawa untuk meminta saran pada Zahra. Setelah cukup lama berbincang dan berbasa-basi, Ali mulai membahas tentang Elena kembali. “Zahra?” “Iya, Li? Ada apa? Tentang Elena lagi?”Zahra menerka. “Hehe… kamu bisa saja membaca pikiranku. Iya nih. Za, aku ingin membimbing Elena untuk memeluk Islam.Jika dia ada dalam keyakinan kita, dia pasti akan jadi wanita yang hebat.” “Oh, ya?Bagus kalau begitu. Lantas, rencanamu bagaimana?” tanya Zahra. “Aku… aku… ingin menikahinya, Za.”Ali mesem-mesem. Kali ini Zahra tak tahu lagi bagaimana harus bersikap tenang di hadapan Ali.Kalimat itu cukup membuat hatinya terguncang.Zahra kelu tak bisa mengatakan apapun.Butir bening mulai menggantung di pelupuk mata.Rasanya Zahra ingin menumpahkan beban yang selama mengganjal di hati.Ia lelah jika harus terus-menerus bertarung dengan perasaannya. “Ali, maaf aku rasanya kurang enak badan.Aku ke kamar dulu ya.”Zahra pergi berlari sambil sedikit terisak meninggalkan Ali begitu saja. Ali yang semula semangat bercerita, kini memasang ekspresi seperti orang yang kebingungan.Ia garuk-garuk kepala tak mengerti mengapa Zahra tiba-tiba aneh seperti itu. Aisyah yang baru muncul dari belakang mengambil minuman hanya bisa bersedih melihat anaknya.Aisyah tahu semuanya, termasuk perasaan Zahra pada Ali.Pasti Elena lagi, pikir Aisyah. Ali bertanya-tanya sebenarnya ada apa dengan Zahra. Ia bertanya apa yang salah dengan dirinya, barangkali ia salah berbicara. Dengan berat hati Aisyah menceritakannya. Aisyah berterus terang bahwa dalam hati Zahra telah tumbuh benih-benih perasaan yang sama sekali tak ia undang kehadirannya. Setelah tahu semuanya, Ali memutuskan untuk pulang. Sementara ia ingin memberikan waktu pada Zahra agar tenang. “Oh… ternyata begitu.Zahra, kenapa kamu tak jujur tentang perasaanmu?Jadi, selama ini aku menceritakan Elena, selama itu juga Zahra harus bersabar bergelut dengan hatinya.Astagfirullah… apa yang telah aku lakukan?” Ali menyisir rambut dengan jarinya, merenungi apa yang telah terjadi. Selama perjalanan pulang, ia hanya bisa menghela nafas dan menyesali ketidakpekaannya. *** “Ali, sini, Nak.Bunda ingin bicara sebentar.”Aminah melambaikan tangan, menyuruh Ali untuk menghampirinya. “Iya, Bun? Ada apa? Tumben.Ada hal penting kah yang mau dibicarakan?”Ali mendekat. “Siapa itu Elena, anakku sayang?”Nada bicaranya terdengar serius tapi tetap lembut. Ali seketika membisu mendengar apa yang ditanyakan Aminah. “Nak, jawab Bunda.Siapa itu Elena?”Mata Aminah mulai berkaca-kaca. “Elena… Elena… Dia teman Ali, Bun.”Ali menyerah untuk jujur dan semakin pelan suaranya. “Kamu mencintainya?Apa agama yang dia peluk?Jujur pada ibumu, Nak.” Ali menghela nafas. “Iya, Bunda. Ali mencintainya, dia seorang gadis kristiani yang taat beragama.” “Ali… apa tidak ada lagi gadis muslim yang menarik hatimu sehingga kau jatuh hati padanya?”Nada bicara Aminah mulai meresah. “Bukan begitu, Bun.Dia gadis yang pandai, Bunda.Berwawasan luas dan dan melek ilmu.Ali yakin dia akan menjadi wanita yang hebat jika Ali berhasil membimbingnya untuk mengikuti agama kita.”Ali berusaha menjelaskan. “Dengan cara apa kamu akan membuatnya masuk Islam? Kamu yakin bisa membuat dia sejalan denganmu?Kamu yakin pilihan kamu adalah pilihan yang tepat?Kamu yakin, Nak?”Pertanyaan Aminah memberondong Ali. “Entah Bunda. Tapi Ali akan berusaha semampu Ali untuk menuntun dia agar memeluk Islam. Sayang sekali Bunda kalau gadis seperti dia tak memeluk Islam.Ali juga berniat menikahinya, agar Ali bisa lebih leluasa untuk membimbingnya.” “Apa?Menikah katamu, Nak? Astagfirullah…” Aminah menangkupkan telapak tangan di mulutnya, air matanya mulai deras membasahi pipi.“Bunda tak akan pernah rida jika kau menikah dengannya.Bunda sudah pilihkan gadis yang cocok untuk mendampingimu. Lihat Zahra, Li. Lihat dia! Apa kau tidak tertarik dengan ketaatannya? Apa kau tak tertarik dengan kelembutan hatinya? Bahkan saat kau menceritakan perihal Elena padanya, dia masih bersabar.Apa kau tak tergugah sedikitpun dengan kecantikan hatinya?” “Bunda tahu dari mana semua itu?” Aminah terdiam, tak mau menjawab dan masih terisak dalam tangisnya. Dalam keadaan seperti ini, ia begitu merindukan almarhum suaminya yang telah lama meninggalkan dirinya. Ini sungguh berita buruk untuk Aminah. Aminah merasa ia gagal mendidik anaknya. “Bunda… Maafkan Ali kalau keputusan itu membuat hati Bunda menjadi sedih.”Ali menggenggam tangan Aminah. “Apa kamu lupa pesan Rasulullah, Nak?Bahwa wanita dinikahi karena empat hal, yaitu karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan yang terakhir karena agamanya. Rasulullah berpesan agar kamu menikahi wanita karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung. Apa kamu lupa ajaran agamamu ini? Apa kamu lupa, Nak?”Aminah menggenggam erat tangan Ali sambil menatap matanya dalam-dalam. Lagi-lagi Ali hanya bisa terdiam bungkam. Benar kata ibunya, ia lupa akan ajaran mulia agamanya. Ia lupa selama duduk di bangku SMP dan SMA banyak hadits-hadits yang ia pelajari, termasuk nasihat mulia yang satu itu. Seakan-akan pelajaran yang ia dapat selama sekolah hanyalah angin lalu yang tumpang lewat begitu saja. “Nak, manusia tak pernah tahu akan seperti apa takdirnya sedetik kemudian.Iya.Kamu bisa membimbingnya semampumu, tapi jika kemungkinan buruk yang terjadi adalah ternyata Allah menakdirkan Elena untuk tetap memeluk agamanya. Bagaimana, Nak? Bagaimana?Rasulullah sekalipun tak bisa membuat orang yang sangat dia sayangi, pamannya Abu Thalib, untuk mengikuti jalan Islam.Hanya Allah yang menentukan siapa yang berhak mendapat hidayah-Nya.Kamu akan tetap pertahankan pernikahanmu meski Elena tetap menjadi wanita kristiani? Pikirkan baik-baik anakku.Kalau itu yang sampai terjadi, pernikahanmu selamanya hanya akan menjadi perzinahan.”Tangis Aminah semakin pecah di tengah kondisi yang tengah menegang. DEGG!! Kalimat terakhir dari ucapan ibunya terdengar menggelegar di telinga.Kalimat itu benar adanya. Jika Elena nanti berhasil dinikahi dan pada akhirnya tetap pada keyakinannya, tentu pernikahannya hanya akan menjadi perzinahan. Cintanya pada Elena telah membuat Ali lupa untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa terjadi.Ia tertegun dan menyesali apa yang telah terjadi. “Sudahlah, Nak.” Aminah menyeka air matanya.“Maafkan Bunda terlalu memaksakan keinginan padamu.Kamu sudah besar, kamu sudah bisa menentukan sendiri pilihan mana yang terbaik untukmu. Bunda hanya sedih, apa kata almarhum ayahmu jika tahu hal ini terjadi? Maafkan Bunda terlalu egois tak memikirkan perasaanmu. Maafkan Bunda.” Aminah melangkah pergi meninggalkan Ali yang masih mematung tertunduk di kursi. *** Beberapa minggu telah berlalu tanpa ada lagi seulas senyum dan cerita dari Zahra.Hatinya merasa tengah diradang kerinduan yang amat mencekiknya.Ali masih malu untuk bertemu dengan Zahra. Setelah nasihat-nasihat dari Aminah menghujaninya, ia semakin tersadar. Pelan-pelan Elena mulai menghilang dari pikirannya, meski itu cukup sulit untuk Ali. Beriringan dengan itu juga sosok gadis lain hadir menggantikan Elena, gadis sederhana yang perlahan mencuri hatinya. Sore itu Ali hendak pergi ke toko buku langganannya. Sudah lama ia tak membeli buku baru.Sambil menyelam minum air, ia bertemu juga dengan Zahra, si gadis cantik nan salehah. Zahra tengah memilih-milih buku bernafaskan Islam di rak paling ujung. Tampaknya ia sangat serius sekali sehingga tidak menyadari bahwa Ali datang mendekat. Cukup lama Zahra mematung dengan buku-buku di genggaman. Matanya sibuk membaca satu persatu sinopsis di sampul belakang untuk memutuskan mana yang akan dibeli. Ali masih mematung di sampingnya, tanpa sadar ia terhanyut melihat Zahra yang begitu anggun dalam balutan jilbab.Ia meresapi perkataan ibunya saat perbincangan tempo hari tentang Elena. Ibunya benar, mengapa ia tak tergugah sama sekali dengan kelembutan Zahra. Sip! Telah terpilih buku mana yang akan dibeli. Zahra mengahadap ke kanan untuk berjalan menuju kasir.Ia semringah dengan beberapa buku di genggamannya, matanya masih terpaku menunduk ke buku-buku itu. Saat ia angkat kepalanya, betapa kagetnya ia mendapati Ali ada di hadapannya. Kakinya terasa kaku dan tak bisa dilangkahkan, matanya masih menatap datar pada tubuh tinggi dihadapannya. Tanpa tunggu lama ia simpan kembali buku yang hendak ia beli ke rak di ujung sana. Ia segera berlari meraih pintu keluar dari toko buku tersebut. Ali mengejarnya dan berkali-kali memanggil namanya.Zahra tak kunjung menoleh ataupun menghentikan langkah kakinya. Zahra sudah jauh di depan meninggalkan toko buku, Ali berusaha mempercepat langkah kakinya. Akhirnya ia berhasil meraih tangan Zahra dan menggenggamnya. Zahra sontak terhenti. “Ali, apa-apaan ini? Lepaskan! Kamu bukan mahramku.Siapa kamu berani memegangku?”Zahra merintih berusaha melepaskan pegangan Ali yang sangat kuat. “OK! Aku akan melepaskannya asal kaudengarkan aku dulu.” Akhirnya Zahra terdiam dan Ali melepaskan pegangannya setelah memastikan Zahra tak akan berlari lagi. “Zahra sakit tidak tangannya?Maafkan aku, terpaksa aku melakukan itu.Beri aku waktu sebentar untuk bicara, setelah itu kau boleh pergi.” Zahra masih membisu, tak mau menatap Ali seincipun. “Za… maafkan aku soal Elena.Bunda benar, harusnya aku pikirkan berulang-ulang saat aku mengambil keputusan untuk menikahi Elena.Aku tahu, Za. Kamu menyimpan perasaan untukku kan? Umi Aisyah telah menceritakan semuanya padaku.Kau jangan membohongiku, Za.” “Lantas kalau kau sudah tahu, kau mau apa?” “Za, Bunda memilihkanmu untukku.Aku setuju dengan pilihan Bunda. Kalau menurut Bunda kau adalah yang terbaik, aku akan menuruti permintaan Bunda. Asal ia bahagia, aku menyesal telah membuat Bunda menitikkan air mata.”Ali tersenyum penuh harap pada Zahra. “Lupakan!Aku sudah mengubur perasaanku dalam-dalam, Li.” “Kaubohong, Za. Lihat aku kalau memang kau berkata jujur.Lihat aku, Za!” Zahra berlari, tak menghiraukan apa yang dikatakan Ali barusan. “Za… Za… ZAHRAAAA?!”Ali berteriak-teriak tak peduli pada orang-orang yang menatapnya keheranan.“Za… lihat saja! Aku akan datang bersama Bunda untuk melamarmu! ZAHRAAAA!”Percuma Ali berteriak-teriak, Zahra tak akan menoleh. Hatinya sudah bertekad akan melamar Zahra untuk menjadi istrinya. Ia rida pada gadis pilihan ibunya. *** Zahra terkejut bukan main, ternyata Ali serius meneriakkan kalimat itu.Tibalah hari pelamaran Ali pada Zahra. Dua keluarga besar telah berkumpul, termasuk Zahra dan Ali ada di sana. Zahra masih saja mendiamkan Ali.Sejak Ali mengutarakan keinginannya pada Zahra untuk menikahi Elena, senyum itu menghilang tertimbun mimik datar yang selalu dipasang Zahra saat bertemu Ali. Ali sadar ia salah, tapi lambat laun ia pastikan senyum itu akan kembali menghiasi harinya. “Za, aku melamarmu untuk menjadi istriku,” ucap Ali. “Ali, aku tak punya banyak hal yang istimewa untuk menjadi satu yang terbaik di antara pilihan-pilihan baik lainnya, hanya ada agamaku yang bisa kupertahankan.Jika kau mau menikahiku, nikahi aku karena agamaku.Jika ternyata nanti kaudapati banyak lubang di dalamnya, tambal lubang itu dengan bimbinganmu yang sabar padaku,” tegas Zahra. “Baiklah Za, aku akan berusaha semampuku. Bismillah… Bunda?Umi?Ali ingin menikahi Zahra karena Allah, karena agama yang ada pada Zahra.” Zahra tersenyum mendengar kesungguhan Ali.Pada akhirnya garis lengkung itu kembali merona di wajah teduh Zahra.Ali ikut tersenyum menyadari betapa indahnya pilihan ibunya. Semoga dalam rida oarngtuanya ia beroleh rida Allah juga. -THE END- Azalea Senja, Ramadhan 1435 H *** Tag dan share ke keluarga, sahabat dan teman-temanmu yaa Cerpen ini kiriman dari salah satu sahabat di sini lhoh FBnya https://www.facebook.com/azaleasenja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar